30

4.5K 1.2K 82
                                    

Oscar mengabulkan permintaanku terkait resepsi. Kami hanya melaksanakan pernikahan secara sederhana; dengan kata lain, hanya menandatangani surat pernikahan dan bersumpah di hadapan Suliya, dewi cinta. Aku mengenakan gaun bernuansa hijau dengan hiasan batu permata berwarna biru, membawa sebuket tulip hijau, dan di hadapanku ada Cian yang menjadi pengiring. Hanya ada segelintir orang yang kami undang; Thy, Margaret, Raja Ilyan dan Putra Mahkota Chan, pasangan Asherah, dan beberapa kenalan Oscar.

Pernikahan digelar di luar ruangan. Kami sengaja memilih taman bunga yang ada di dekat kediaman Ardavar. Kursi ditata di sepanjang jalan setapak yang telah ditaburi kelopak bunga mawar merah. Cian terlihat bersemangat, sibuk menaburkan bunga dan kedua pipinya tampak ranum seperti apel merah. Di ujung jalan setapak, Oscar telah menunggu. Dia memakai busana indah bernuansa hijau dan biru muda. Sungguh kebetulan yang indah kedua mata kami memiliki warna mata serupa: Biru. Hanya saja milik Oscar jauh lebih cerah daripada milikku. 

Cian segera menyingkir, berdiri bersama pengasuh, dan mempersilakan aku memulai pernikahan.

Pendeta membacakan doa kemudian setelahnya kami diperkenankan bertukar cincin. Pendeta berjubah putih membawa nampan berisi sepasang gelang yang terjalin dari rambutku dan rambut Oscar. Ada hiasan batu biru dan hijau mungil di sisi luar bagian gelang. Seusai Oscar memasangkan gelang di tanganku, maka aku pun memasangkan gelang di tangannya.

Usai pernikahan, merpati bermunculan. Mereka menjatuhkan setangkai bunga kepada kami. Diikuti beberapa burung berbulu indah yang juga menghujani aku dan Oscar dengan kuntum bunga. Selama beberapa saat hadirin terperangah, kemudian mereka pun makin menganga begitu burung menjatuhkan beri-beri luar kepada hadirin.

“Oscar,” aku bertanya, “apa mungkin kau pangeran peri buangan?”

“Celine, itu tidak mungkin,” jawabnya sembari terbahak. “Mereka pasti akan mencariku dan memintaku pulang ke negeri peri, bukan meninggalkanku bersama ayah pendengki dan manusia keji.”

Setelahnya aku menyimpan rasa penasaran untuk diriku sendiri.

Jamuan pun dimulai. Satu per satu hadirin memberi selamat. Bahkan Thy pun menangis sesengukan, tidak percaya aku menikah lebih dahulu daripada dia yang notabene lebih berpengalaman dalam ranah percintaan.

“Bibi, semoga berbahagia,” Putra Mahkota Chan memberi selamat. “Bibi, kapan datang ke istana?”

Susah payah aku menahan diri agar tidak berteriak, “Imuttt! Awww! Imut!” Apalagi ketika Chan bergandeng tangan bersama Raja Ilyan. Omong-omong, ada beberapa lady yang mencoba menembakkan panah asmara kepada Raja Ilyan. Sayang panah tersebut memantul alias, tidak mampu menembus jantung hati Raja Ilyan.

“Ibuuuu,” Cian merengek, mulai menempel di gaunku dan menatap sengit kepada Chan.

Aku melirik Oscar yang hanya menampilkan cengiran, tidak peduli dengan adu pelotot antara Cian dan Chan.

“Mereka akan menjadi teman main yang akrab,” kata Raja Ilyan.

Teman akrab. Masalahnya dua bocah cilik yang diharapkan menjadi sahabat itu lebih memilih saling pelotot.

“Cian, ayo ucapkan salam kepada Putra Mahkota Chan,” aku menyemangati Cian, mencoba membujuknya memulai persahabatan baru.

Sayangnya itu tidak terjadi, saudara-saudara.

Cian makin merapat, tidak mau melepaskan gaunku, dan justru menatap sengit kepada Chan.

‘Cian, No. Cian, jangan lakukan itu!’

Maka, aku menyerahkan buket kepada Oscar dan segera menggendong Cian. “Hei, Ibu tidak mengajarimu memelototi anak lain.”

“Dia membuatku jengkel,” Cian beralasan. “Ibu, jangan main dengan dia!”

Survive as Hero's Mother  (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang