05. Penyakit?

142 44 112
                                    

Reynan mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata. Membelah jalanan kota jakarta yang padat itu dengan hati yang bergemuruh.

Sejak pesan itu dikirim, entah perasaan apa yang ia rasakan. Sakit, sesak, sedih, menjadi satu di benaknya. Seolah memaksakannya untuk menumpahkan air mata itu.

Lagi-lagi, dirinya merasa seperti sampah. Tidak berguna dan menyusahkan.

Benar-benar seperti sampah yang seharusnya di buang.

"Maaf bunda.."

kalimat itu selalu terlintas di benaknya saat seperti ini.

Reynan selalu merasa bersalah karena kedua orang tuanya harus mempunyai anak sepertinya. Penyakitan, tidak berguna, dan selalu menyusahkan.

Wajah tegas di balik helm full face itu, akhirnya berhasil menumpahkan air matanya. Walaupun tidak banyak, setidaknya berhasil melepaskan rasa sesak di dadanya.

Tidak memerlukan waktu lama, pria itu akhirnya menghentikan motornya di halaman parkir sebuah rumah sakit besar di kota jakarta.

Setelah melepaskan helm full face–nya, Reynan menatap gedung besar rumah sakit itu sambil  menghela nafasnya kasar.

Perasaan tidak enak muncul lagi di benaknya. Perasaan yang selalu ia rasakan ketika melihat gedung rumah sakit itu.

Rumah sakit, yang penuh banyak cerita dalam hidup nya.

Setiap sebulan dua kali, ia harus selalu mengontrol kesehatannya di rumah sakit ini. Kabar baik dan buruk tentang kesehatannya masih terekam jelas dalam ingatan laki-laki itu.

Bahkan, rumah sakit ini lah saksi dimana ia pernah ingin mengakhiri semuanya. Lebih tepatnya, saat Reynan meminum racun 2 tahun lalu.

Reynan mulai melangkah memasuki rumah sakit itu dengan perasaan gusar. Setiap doa, dan harapan kecil untuk mendengar kabar baik selalu ia rapalkan di setiap langkahnya.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" ucap seorang–receptionist.

"Dokter Erlan."

"Dengan Reynanza Damara?"

Reynan mengangguk kecil, "Benar."

"Silahkan Tuan, Dokter Erlan sudah menunggu di ruangan nya."

"Terimakasih."

"Sama-sama Tuan Damara."

Sial.

'Tuan Damara'

Reynan sangat membenci panggilan itu.

Tok! Tok! Tok!

"Silahkan masuk." ucap seorang dari dalam ruangan.

Pintu terbuka, atensi seorang yang sedang berkutik dengan tumpukan kertas itu akhirnya beralih pada Reynan yang masih berdiri di ambang pintu.

"Ah Reynan, Silahkan duduk."

"Em."

"Bisa kita mulai Cek-up–nya?" Reynan hanya mengangguk kecil sebagai jawabannya. Ia mulai berjalan ke sebuah brankar dan berbaring di atas nya.

Dokter yang ber-name tagErlando Auriville Itu mulai memasang stetoskop ke telinganya dan meletakkan chestpiece pada dada Reynan.

Detak jantung yang sangat lambat membuat Erlan menghembuskan nafasnya dalam. Ia tersenyum simpul saat Reynan menatapnya penuh tanya.

"Masih sama seperti biasa, kamu perlu selalu jaga kesehatan dan jangan terlalu capek." jelas Erlan.

Reynan menghembuskan nafasnya gusar. Lagi-lagi ia mendengar hal yang sama. Tidak pernah ada kemajuan dalam kesehatan jantungnya.

Ya, Reynan mengidap gagal jantung. Penyakit bawaan sejak lahir.

"Dok!"

"Iya?"

"Sampai berapa lama?"

Pertanyaan itu membuat Erlan sedikit terkejut. Ia paham arah kemana pembicaraan anak itu. Reynan tengah menanyakan sampai berapa lama ia akan bisa bertahan.

Karena anak itu tahu, penyakit gagal jantung tidak dapat di sembuhkan terlebih ini penyakit bawaan sejak lahir.

Tetapi, penyakit ini bisa di obati. Tujuan pengobatan ini adalah untuk mengontrol gejala penyakit agar tidak mudah kambuh.

"Akan bertahan lama, kalau kamu selalu jaga kesehatan." ucap Erlan tersenyum simpul. Namun Reynan menggeleng kecil membuat Erlan mengerutkan keningnya bingung.

"Rey gak kuat."

"Kamu kuat, saya yakin kamu bisa lewatin ini semua."

"Percuma, Berapa banyak pun uang yang di keluarkan orang tua Rey. Rey gak akan sembuh."

Erlan mengusap bahu tegap anak itu dengan lembut. "Jangan pernah berpikir seperti itu, mereka ingin kamu sehat, mereka sayang sama kamu. Makannya mereka berusaha untuk mengobati kamu."

Reynan tersenyum getir.

'Mereka sayang kamu, makannya mereka berusaha untuk mengobati kamu.'

"Mengobati yang mana? kalau saat seperti ini, gue harus selalu ngedengerin cacian dan hinaan. 'anak pembawa sial, anak penyakitan'. Mengobati yang mana? penyakit ini gak akan sembuh. Sedangkan mental gue yang menjadi taruhannya."

Reynan hanya mengangguk kecil. Walaupun batinnya meringis karena banyak fakta yang ingin ia teriakan.

"Saya akan buatkan resep baru untuk kamu. Dan dosis-nya juga mungkin akan naik," ucap Erlan berlalu ke meja kerja nya.

Ting!

Lele
|Rey, mau dateng malam ini? balapan di jalan Amora. Ada orang yang nantang lo.

Reynan menghembuskan nafasnya dalam. Hal yang tidak penting! mungkin ia akan menolaknya. Malam ini ia hanya ingin beristirahat.

Ting!

Bunda
|Sudah Cek-up? berapa biaya obat yang harus di keluarkan? Saya sudah mengirim uang ke rekening mu. Tebus obat nya, jangan sampai tidak kamu minum! dasar anak penyakitan!

Ia meremat ponsel itu dengan kuat. Pesan dari sang ibu, berhasil membuatnya kembali tersayat pilu.

"Rey, ini resepnya. Kamu bisa tebus obatnya di receptionist." ucap Erlan yang membuyarkan lamunan Reynan.

Reynan meraih secarik kertas resep obat yang di berikan Erlan,"Terimakasih."

"Sama-sama, minum terus obatnya, jangan sampai tidak. Kalau ada keluhan apapun, hubungi saya ya."

Reynan mengangguk kecil sebagai tanggapannya. Pria itu kembali berlalu ke luar ruangan. Setelah pintu ruangan tertutup, ia kembali membuka ponselnya

Reynanza ganteng
Ale, gue bakal dateng|

Lele
|Mantap brow!

Smirk kecil berhasil terpatri di wajah tegas Reynan. Dengan mantap , Ia mengganti keputusannya untuk beristirahat. Hanya untuk alasan satu hal.

Pelampiasan emosinya.

•••••••

TITIK KOMA ;
04.05.22

TITIK KOMA [ON GOING]Where stories live. Discover now