04. Gejolak rasa sakit

159 48 142
                                    

Cahaya mentari memasuki celah jendela membuat seorang pria yang tidur meringkuk di lantai harus terbangun karena cahaya menerpa hangat wajahnya.

Lengguhan kecil terdengar dari sang empu. Ia mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya matahari masuk ke retinanya.

Netranya menangkap jam di dinding menunjukkan waktu pukul 06.35 pagi.
Setelah nyawanya cukup terkumpul, Pria itu segera bergegas untuk mandi. Tentu saja hari ini ia harus bersekolah walaupun sudah hampir telat.

Seperti biasa, Reynan akan hanya absen muka, lalu bolos lagi.

Pria itu meringis ketika tidak sengaja lengan yang terdapat sayatan itu terkena air.

Ia kembali melanjutkan aktivitasnya.
Cuci muka, gosok gigi, tidak mandi.

Biar apa coba?

Setelah selesai, Reynan segera memakai seragam sekolahnya. Tidak lupa dengan hoodie hitam untuk menutupi lengannya yang terdapat banyak barcode itu.

Ia memasukan satu buku ke dalam tas sekolahnya. Ya, seperti itulah Reynan, selalu masa bodo terhadap sekolahnya.

"REY!!" suara itu milik Ale. Di luar kamar sana, Ale mengetuk pintu dengan kasar membuat Reynan mendengus kesal.

Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah cermin besar yang memantulkan dirinya. Reynan tersenyum simpul pada pantulan dirinya. Ia bisa melihat banyak luka tak kasat mata di jiwa itu. Mungkin, hanya dia yang bisa melihat nya.

"Pasti lo gak mandi." celetuk Ale saat pintu kamar terbuka.

"Yang penting masih ganteng." ucap Reynan melengos pergi berjalan mendahului Ale.

"Selamat pagi aden." sapa bi Inah yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Reynan hanya tersenyum simpul menanggapinya.

Matanya mengedar mengamati sekelilingnya, mencari sosok yang memang seharusnya tidak ada saat jam sarapan, ataupun makan siang di meja makan.

Namun kali ini ia salah. Salah karena mengira sosok itu tidak ada. Dari kejauhan ia dapat melihat Evrard yang sedang berjalan menuju meja makan.

"Selamat pagi Pak Damara" sambut bi Inah. "Saya akan siapkan makanan untuk Bapak." ucap bi Inah yang tampak sumringah. Karena setelah sekian lama, tuan besarnya itu akhirnya kembali untuk sarapan bersama dengan Reynan.

"Tidak perlu. Saya kesini hanya ada perlu dengan Reynan. Bukan untuk sarapan." ucap Evrard datar.

"Oh, Maaf pak. kalau begitu saya permisi ke belakang," pamit bi Inah yang hanya mendapat dehaman dari Evrard.

"Reynan." panggil Evrard. Reynan yang di panggil hanya menatap Evrard datar.

"Ini untuk kamu." Evrard memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada putranya itu.

"Untuk?" tanya Reynan.

"Hidup kamu."

Reynan hanya menatap kartu berwarna hitam itu dengan datar.

"Kalau saya bilang saya tidak mau?"

"Kamu tidak akan bisa hidup tanpa uang saya," ujar Evrard menaruh kartu itu di meja makan tepat Reynan berdiri, dan berlalu pergi.

Sedangkan Reynan, ia masih bergeming. Pria itu menatap lekat punggung sang Ayah yang perlahan menghilang di makan jarak. Kemudian netranya beralih menatap kartu hitam itu. Ia tertawa getir setelah kata-kata Evrard barusan kembali menusuk ingatannya.

"Kamu tidak akan bisa hidup tanpa uang saya."

"Kalau saja Ayah tahu, Rey cuma butuh kasih sayang kalian. Rey bakal relain apapun demi dapat kasih sayang kalian."

TITIK KOMA [ON GOING]Where stories live. Discover now