29. Seperti Dulu

87 8 0
                                    

Ting tong... ting tong...
Suara bel rumah sampai ke telinga Freya, membuat perempuan itu mau tidak mau bangkit untuk membukakan pintu rumahnya.

Terlihat sosok Axel mengenakan kemeja putih, dengan kancing paling atasnya terbuka. Pria itu juga menenteng jas hitamnya. Penampilannya sudah berantakan tapi wajahnya tetap tampan.

"Axel?"

"Boleh nginep?"

Freya masih diam di tempat ketika Axel masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Sepertinya dia sudah lama tidak berkunjung ke rumah itu. Rindu rasanya.

Freya masih duduk di tepi tempat tidurnya begitu Axel keluar dari kamar mandi dan sudah berpakaian lengkap. Tangan kanannya sibuk menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.

"Wah, aku bener-bener homesick." ujarnya. Bagi Axel, disini adalah tempat ternyaman.

"Kamu udah makan?"

"Belum. Kamu?"

"Sama."

"Kamu mau makan apa? Aku lagi pengen banget mie instan."

Freya tersenyum, "Yaudah kita ke dapur, masak mie instan."

"Deal!"

Dan sekarang mereka ada di dapur, memasak mie instan bersama. Hingga beberapa menit kemudian, mereka duduk berhadapan di meja makan, dengan mie instan mereka masing-masing.

"Wah, akhirnya!" ucap Axel.

Freya tersenyum, "Mie instan emang enak banget sih!"

"Setuju!"

"By the way, gimana kerjaan kamu hari ini?" tanya Freya membuka topik pembicaraan. Axel tersenyum, Freya mengerutkan kening, "Kok senyum? Ada kejadian menyenangkan di kantor?"

Axel masih tersenyum, "Enggak! Aku lagi seneng aja. Suasana kayak gini tuh kayak kamu yang jadi istri aku nanyain gimana kerjaan suaminya hari ini, lancar? Gitu!"

Freya tertawa. Iya juga ya!

"Itu kenapa aku gak bisa jauh dari kamu, Frey! Pribadi kamu hangat."

"Gak bisa jauh dari aku? Masa?"

"Frey!" ucap Axel nada meranjuk. "Hari ini kerjaan aku lancar, by the way! Tadi cuma meeting sama beberapa manager divisi. Yah, sedikit ada masalah sih, tapi langsung di atasin. Kalo kamu sendiri?"

"Tadi aku malah keliling divisi buat nanya ada kendala atau enggak, siapa tau mereka butuh support apa gitu. Ternyata semua baik-baik aja. Paling tadi ada mahasiswa aku dateng buat bimbingan."

"Jangan sampe telat makan, Frey."

"Iya, kamu juga, Xel."

Pembahasan mereka berbeda tentunya. Saat sedang makan, biasanya mereka lebih menanyakan aktivitas mereka hari ini, ada kendala apa, atau ada kehebohan apa hari ini.

Axel langsung menjatuhkan diri di kasur Freya, membuat Freya yang berdiri di ambang pintu itu salah tingkah. Sudah lama sekali mereka tidur dalam satu kasur, bercerita apapun. Namun Axel masih terlihat santai. Dia menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya agar Freya berbaring disitu.

"Wah, aku bener-bener rindu suasana ini. Kira-kira kapan ya terakhir kita kayak gini?" tanya Axel. Freya hanya terdiam. "Frey?"

"Ya? Uhm, aku lupa!"

"Kayaknya udah hampir dua tahun gak sih?"

"Mungkin."

"Frey, kamu gak mau nanya tentang hubungan aku sama Jennie?"

Karena Freya tetap diam, Axel menoleh, Freya langsung menggelengkan kepalanya, artinya tidak ingin tahu tentang hubungan Axel dengan Jennie.

"Beneran gak mau tau? Nanti kamu nyesel loh! Padahal aku mau ngasih tau!"

Freya tersenyum. Dia tahu Axel akan memberitahunya.

"Yaudah kalo kamu gak nanya, aku yang ngasih tau kamu, Jennie akhirnya milih Raymon."

Freya menoleh, "Raymon?"

Axel mengangguk, "Temenku. Aku tau dia udah lama suka Jennie, tapi malah sok ngenalin ke aku. Mungkin sebentar lagi mereka jadian."

"Terus kamu gimana?"

"Ya gak gimana-gimana. Emang dari awal aku emang cuma mau temenan aja sama Jennie."

"Kamu kan gak pernah mau temenan sama perempuan."

"Kamu perempuan."

"Emang kita temenan?"

Axel terdiam. Freya keceplosan. Axel bangkit, terduduk, menatap Freya yang ada di sebelahnya. Menatapnya dengan tatapan aneh.

"Kita lebih deket dari temen, Axel. Kayak saudara."

"Tapi aku kan bukan saudara kamu."

"Oke, skip! Terus?"

Axel tersenyum, entah kenapa ada yang menggelitik hatinya. Namun karena malam mereka masih panjang, dan ada yang ingin Axel tanyakan, dia tidak memperpanjang hal itu.

"Ya intinya gitu."

"Kamu gak sayang ngelepas perempuan kayak Jennie. Selama yang aku liat, dia baik sama kamu, dia juga cantik."

"Tapi perasaan kan bukan cuma tentang baik dan cantik, Frey."

"Iya sih, kamu bener."

"Oh ya, Frey,"

"Hm-hm?"

"Kamu mau cerita gak kenapa kamu sama Fandy bisa pisah?"

Freya terdiam. Berpikir sejenak. Memilah-milah apa saja yang harus di ceritakan dan tidak.

"Takdir itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita duga, Xel. Semakin kesini aku ngerasa hubungan kita udah gak sebaik dulu. Memang seiring berjalannya waktu, kita bisa tau sifat seseorang, dan bisa jadi memilih untuk gak bersamanya."

"Lebih spesifik, Frey. Aku tau kamu bukan tipe orang yang gampang bisa pisah cuma karena tau sifat asli Fandy. Pasti ada yang gak beres!"

Freya tersenyum. Axel memang mengenalnya. Mau bagaimana pun Freya berusaha memilah, Axel masih bersikeras untuk tahu yang sebenarnya. Namun Freya tetap tidak mau memberitahunya.

"Terus gimana kamu bisa jadi deket banget sama Farel?"

Freya menceritakan awal kedekatannya dengan Farel lebih hati-hati. Pandangan Axel terlihat menyelidik. Namun Freya memang menceritakan sebenarnya.

"Terus itu kotak apa, Frey?" tanya Axel. Dengan matanya, dia menunjuk kotak kecil berwarna merah yang Freya letakkan di atas meja kerjanya.

Freya melompat untuk mengambil kotak kecil itu, namun Axel lebih cepat. Dia membukanya. Cincin emas putih yang di atasnya terdapat berlian yang sangat berkilau.

"Ini dari siapa?"

"Bukan dari siapa-siapa, Xel!"

"Dari Farel?"

"Xel!"

"Aku tanya ini dari Farel?!" Axel menaikan nada bicaranya. Hatinya tak tenang.

"Tapi aku cinta sama kamu, Frey." ucap Farel. Freya terdiam. Farel mengeluarkan kotak kecil berisi cincin. "Aku tau kamu kaget. Tapi aku mau kamu nerima ini, Frey. Aku seneng kalo kamu nerima cinta aku, tapi kalo enggak juga gak apa-apa. Anggap aja ini hadiah buat kamu. Aku udah terlanjur beli buat kamu, jadi ini untuk kamu."

"Iya."

"Maksudnya apa, Frey?"

"Gak ada maksud apa-apa, Xel."

Dan lagi-lagi akhirnya Freya harus menceritakan yang sebenarnya kepada Axel tentang apa yang terjadi.

Axel meletakkan kembali kotak cincin itu. Lalu memeluk Freya. Erat. Dia menangis. Rasanya dia hampir menjadi gila. Dia tidak ingin kehilangan Freya lagi. Cukup menyakitkan baginya karena berpisah dari Freya hingga hubungan mereka sangat canggung, bahkan Freya seperti menghindarinya. Dia tidak mau setelah sampai di titik ini, Freya malah menjauh lagi untuk kedua kalinya. Cukup waktu itu saja.

Cukup!

* * *

Just Because FNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ