28. Tentang Pilihan

95 7 1
                                    

Wajah Jennie terlihat harap-harap cemas. Firasatnya sudah tidak baik tentang hubungannya dengan Axel pasca acara malam itu. Jennie tidak pernah lupa saat dia mencari sosok Axel sambil memegang dua gelas minuman. Lalu mengikuti Farel ketika pria itu pergi keluar, karena sebelumnya Axel bersamanya.

Dia menyaksikan itu semua. Adegan Freya yang meronta meminta Axel melepaskan tangannya, namun Axel menggendongnya dan membawanya pergi, dan Farel mengejarnya pergi dari tempat itu juga.

Jennie tahu dia kalah dari Freya. Seharusnya dia sudah tahu kalau dia tidak mungkin menang melawan Freya, dia tidak bisa menyingkirkan Freya dari hati Axel.

Sebenarnya dia berharap apa?

Sudah setahun dia ada di dekat Axel dan hubungan mereka tidak berkembang. Atau mungkin terakhir Axel dengan terang-terangan memberitahunya kalau dia tidak bisa melupakan Freya. Tapi entah kenapa hatinya merasa lega.

Hari ini dia ingin mempertegas semuanya. Dia sudah tidak bisa menjadi seperti ini dengan Axel. Harapannya untuk bersama Axel sudah dia kubur malam itu. Dia hanya ingin semuanya selesai dengan baik.

"Sorry, udah nunggu lama ya, Jen?" tanya Axel seraya duduk di hadapan Jennie.

Mereka memesan menu.

"Ada apa, Jen?" tanya Axel lagi.

Jennie menatap lekat-lekat wajah Axel. Tidak ada tatapan cinta yang membara dari matanya ketika menatap Jennie. Akhirnya Jennie sadar, kalau tidak pernah ada ketertarikan padanya.

"Aku selama ini salah mengartikan hubungan kita." ucap Jennie.

Axel terdiam sejenak, dia tahu kemana arah pembicaraan Jennie. "Aku tau maksud kamu, dan aku tidak menyangkal. Aku minta maaf, Jen."

"Kamu gak salah, Xel, aku yang salah."

"Iya, kamu yang salah."

Jennie terdiam. Terkejut dengan ucapan Axel. Lalu Axel tertawa.

"Maaf. Aku takut kamu marah kalo aku lebih lanjut nyalahin diri aku."

Jennie tersenyum, "Kamu lebih takut aku marah atau Freya marah?"

"Aku lebih takut Freya marah." jawab Axel tegas.

"Because you love her more than me."

"You wrong!" kata Axel spontan. "Karena ada dua hal. Pertama, aku tidak mencintai kamu,"

Jennie tersenyum, dia sudah yakin dari awal, "And the second?"

"Karena Freya lebih nyeremin kalo dia lagi marah."

Jennie tertawa. Dia baru melihat sisi Axel yang seperti ini. Setelah mereka membicarakan semuanya. Mungkin selama ini Axel selalu menutup hatinya untuk Jennie, sehingga Jennie tidak tahu kalau Axel punya sisi yang seperti ini. Dan berteman dengan Axel jauh lebih menyenangkan dari pada berharap Axel di sisinya.

"Tapi kamu jangan ngadu ke Freya ya. Aku takut apartement aku di bom! Belinya pake duit soalnya." lanjut Axel yang membuat Jennie lebih tertawa.

Setelah pesenan mereka datang, mereka menyantap makanan masing-masing.

"Axel, aku mau jujur sesuatu sama kamu."

"Apa?"

"Sebenarnya waktu malam itu kamu ninggalin aku, aku tidur sama Raymon." ucap Jennie hati-hati. Raut wajah Axel biasa saja. "Kamu gak kaget?"

"Enggak. Karena aku tau kalo Raymon suka sama kamu." Axel melahap suapannya. "Tapi itu anak malah sok-sokan ngenalin aku ke kamu. Cemburu sendiri kan tuh anak!"

"Ya. Dan aku baru sadar kalau Raymon cinta sama aku. Dia yang selalu ada buat aku."

"Terus sekarang jadian?"

"Belum sampe ke tahap itu."

"Berarti kemungkinan akan jadian?"

"I hope so."

"Aku doain yang terbaik buat kalian berdua."

"Thanks, Axel."

* * *

Seharian ini Farel tidak fokus dengan pekerjaannya. Melakukan kesalahan yang umumnya tidak dilakukan oleh seseorang seperti Farel. Dia tahu Freya memperhatikan. Bahkan dia lupa memberitahu Freya kalau ada jadwal ke store hari ini dan baru memberitahu Freya setengah jam sebelum berangkat.

Bahkan sesampainya di store, Farel banyak diam, sementara Freya masih dengan antusias memperhatikan desain untuk bulan depan. Bahkan sesekali Freya harus mengulang pertanyaan karena Farel terlihat tidak fokus.

"Oke, kerja bagus semuanya! Selamat makan siang. Pizzanya sudah diletakkan di pantry. Selamat menikmati." ucap Freya.

"Terima kasih, Bu Freya." ucap para karyawan dengan mata berbinar-binar.

"Farel, kita mau makan siang dimana? Makan pizza juga yuk!"

"Oh? Ya? Uhm, boleh, Frey!"

Setelah sampai di restaurant pizza, Freya memesan makanan untuk mereka berdua, tanpa bertanya pada Farel, karena dia sudah tahu Farel akan pesan apa, dan Farel terlalu tidak fokus hari ini.

"Kamu kenapa, Farel?"

"Uhm, gak apa-apa, Frey. Maaf banget aku hari ini kurang fokus."

"Bahkan tidak fokus sama sekali. Kamu mau cuti dulu?"

"Enggak, Frey!"

"Kamu boleh cerita sama aku kalo gak keberatan. Siapa tau beban pikiran kamu berkurang sedikit, syukur-syukur aku bisa ngasih saran."

"Frey, aku boleh jujur sama kamu?"

"Boleh dong!"

"Sebenernya Papa aku nyuruh aku buat masuk perusahaan Pak David karena ada maksud."

"Maksudnya baik atau buruk?"

"Tergantung sudut pandang kamu."

"Oke, lalu?"

"Aku di suruh jadi orang kepercayaan Pak David, dan deketin kamu. Bahkan Papa minta aku supaya aku bisa nikah sama kamu."

Freya tersenyum, "Masa sih?" Freya malah menggoda Farel. Pria itu salah tingkah. "Kenapa Pak Guntoro nyuruh kamu deketin aku?"

"Aku gak tau persisnya. Pernikahan politik mungkin."

"Pernikahan politik ya, terlihat menggiurkan sih! Tapi percaya sama aku, pernikahan tanpa cinta itu gak baik."

"Tapi aku cinta sama kamu, Frey."

Freya terdiam. Sejak kapan? Sejak kapan Farel memiliki perasaan itu padanya? Sejauh ini tidak ada yang berubah selain hubungan mereka menjadi dekat layaknya teman, tidak sekaku dulu.

Farel yang dulu memang terlihat kaku di mata Freya, itu karena Freya tidak mengenal Farel, Freya tidak pernah meminta bantuan Farel. Tapi setelah Freya memutuskan untuk terjun membantu bisnis David, dan David mempercayakan Farel mendampingi Freya, otomatis mereka yang setiap hari bertemu, saling membutuhkan bantuan, tidak mungkin masih kaku. Bahkan tanpa Freya sadari hubungan mereka lebih baik dari hubungan rekan kerja.

Sebenarnya sejak kapan?

* * *

Just Because FOnde histórias criam vida. Descubra agora