x (Author POV)

3.9K 223 0
                                    

anw, sebelum mulai ke ceritanya, i just wanna told you something guys..

Happy 10k readers~!

HAHA! Okay stop, let's start~
(kalau ada typo kasih tau yaww)




*****

Hari ini Nada dan Nadia cuma berdua di rumah. Nadia lagi gak ada jadwal kuliah dan cek ulang ke rumah sakit, Dikta juga masih sibuk di kampus sejak pagi hari tadi. Dan di sinilah Nada dan Nadia—ruang televisi, menikmati ice cream sambil nonton kartun—menunggu Dikta pulang.

Tiba-tiba Nada mulai membuka ceritanya dengan sebuah pertanyaan. "Bunda, kapan Nada akan punya adik? Nada ingin punya adik seperti teman-teman Nada yang lain. Mereka main bareng, jajan bareng, ke sekolah bareng, dan saling menjaga satu sama lain. Nada juga mau, agar enggak ngerasa kesepian kalau di rumah sendirian pas bunda sama daddy gak ada di rumah..."

Nadia tertegun. Kegiatannya yang sebelumnya tengah menjilat es krim mendadak terhenti. Kali ini Nadia merasa dirinya tidak bisa menyanggupi keinginan anak sambungnya itu. Ia sedih.

"Tapi bunda, maksud Nada bukan berarti Nada tidak senang bermain berdua sama bunda ketika daddy kerja, tapi Nada kasihan liat bunda kecapekan usai beraktifitas terus main sama Nada. Nada mau adik agar bisa main tanpa harus mengganggu waktu istirahat bunda," sambung anak kecil berkuncir dua itu.

Nadia tersenyum hangat. Nada manis sekali. Lantas Nadia mengusap lembut surai tipis gadis itu.

"Bunda usahakan kasih Nada adik, ya. Tapi ingat! bunda enggak janji. Jadi, jika nanti bunda gak bisa wujudin keinginan Nada buat punya adik, bunda minta maaf ya..." Nadia berujar.

Nada mulai mengangguk. Sedangkan Nadia berujar dalam hati, Apakah bisa? Apakah waktunya selama itu untuk bertahan? Bagaimana dengan pengobatan dan obat-obatan yang aku konsumsi selama beberapa bulan ini? Kecil sekali harapanku untuk kasih Nada adik.

*****

Malamnya, Nadia masuk ke dalam kamar. Menampilkan Dikta yang sedang bergelut dengan laptopnya di sudut kamar—sudut kerja pria yang kini tengah mengenakan kacamata itu. Nadia duduk di tepi ranjang, menatap Dikta yang tengah sibuk dan fokus.

"Mas, aku mau bicara sesuatu sama kamu,'' kata Nadia membuka percakapan.

"Iya, silahkan, Nadia," balas Dikta tanpa menatap lawan bicaranya.

Nadia menghela napas. "Ini serius. Fokus dulu ke aku, jangan sama kerjaan kamu terus."

Kali ini Dikta yang menghela napas. Lantas memutar kursi kerjanya, berhadapan dengan Nadia kemudian.

"Kenapa?" tanya Dikta agak bernada lelah.

"Aku mau kasih Nada adik. Aku mau hamil," lantang Nadia.

Dikta terkejut. Ia rasa Nadia tahu kok apa resikonya jika Nadia menginginkan mengandung, sedangkan kondisinya saat ini sedang mengonsumsi banyak obat.

"Nadia, kita pernah bahas ini sebelumnya. Saya sudah pernah bilang ke kamu kalau saya nikah sama sekali gak maksa kamu untuk hamil. Saya juga gak menuntut itu, saya paham kondisinya saat ini seperti apa. Dan soal keinginan Nada, gak semua keinginan anak itu kamu wujudin terus. Ada beberapa hal yang gak bisa dipaksain,  Nadia," jelas Dikta.

"Aku tau, tapi aku yang juga mau punya anak. Aku ngerasa cacat sebagai istri kalau semisal aku gak bisa kasih kamu keturunan," Nadia berujar keras kepala lagi.

Dikta memijit pelipisnya. Mendadak peningnya semakin bertambah.

"Nadia, jangan keras kepala. Kalau kamu mau punya anak bayi, fine! Kita adopsi aja anak dari yayasan yang baru lahir, kita cari. Tapi enggak dengan membahayakan diri kamu!" balas Dikta lagi.

"Kamu juga pernah bilang, kalau kamu akan mengiyakan semua yang aku mau selama aku masih hidup di dunia. Setidaknya izinin aku mewujudkan apa yang aku mau sebelum mati," Nadia masih teguh pada keinginannya.

"Nadia, jangan lagi pake alasan itu."

Dikta gak ngerti Nadia tuh kenapa keras kepala sekali.

"Aku mau punya anak, dari rahim aku sendiri, dari kamu, untuk jadi adik dari Nada, titik."

Kalimatnya itu benar-benar tak ingin dibantah. Melihat seyakin apa Nadia, matanya yang mulai berlinang, Dikta mulai iba. Ia paham maksud Nadia, ia mengerti perasaan istrinya itu, tapi Dikta juga gak mau kalau sesuatu akan terjadi pada Nadia nantinya. Sampai akhirnya, Dikta kembali membuka suara dengan sebelumnya menghela napas berat dan panjang.

"Kamu yakin? Kamu gak akan takut?" tanya Dikta.

"Aku yakin dan gak akan takut. Kalau kamu tanya alasannya apa, aku akan kasih tau kamu sekarang. Mas, kita tau umur aku dengan penyakit ini gak pernah tau bisa bertahan seberapa lama lagi, tapi sebelum aku pergi, aku mau kasih kamu, Nada, keluarga aku, keluarga kamu kenang-kenangan. Iya, anak yang aku lahirin aku titipin ke kalian sebagai kenang-kenangan, sebagai obat juga kalau kalian kangen aku tapi gak bisa peluk."

Nadia tak bisa menahan airmatanya lagi. Ia sebenarnya terlalu takut untuk meninggalkan semua orang yang ia sayang dan menyayanginya. Tapi mau bagaimana lagi? Nadia tidak punya kekuatan super untuk mengubah takdir.

Dikta sakit melihatnya. Kakinya spontan melangkah mendekati Nadia yang masih terduduk di tepi ranjang. Lantas memeluk tubuh ringkih Nadia yang mulai saat ini tangisnya goyah tak tertahan. Bahunya naik turun, dengan isakan yang semakin kencang.

"Udah, udah, jangan mikir jelek. Kamu bakal sembuh, kamu bakal bareng-bareng terus sama kita," pelan Dikta seraya mengusap lembut punggung istrinya.

"Aku takut nanti sendirian. Gak bisa peluk Mas, gak bisa nemenin Mas lagi," tangis Nadia makin menggema, membuat dada Dikta ikut sesak.

"Ssstt... Peluk Mas sepuas yang kamu mau, seerat yang kamu bisa. Mas gak akan keberatan. Tapi jangan bilang gitu lagi ya, karena kamu gak akan pernah sendirian."

Dikta, pria itu bahkan gak pernah tahu semenakutkan apa isi kepala Nadia setiap hari. Membayangkan nanti ia sendirian di tempar yang gelap tanpa dirinya. Nadia takut, amat sangat takut.

*****

Next chapter on progress...

Hei guysss! Baca yang ini juga yukkss~

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

Hei guysss! Baca yang ini juga yukkss~

Beloved Stepmotherजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें