w (Author POV)

3.9K 256 1
                                    

Hari pernikahan pun tiba. Beberapa jam lalu acara telah selesai, dan kini Dikta dan Nadia sudah berada di rumah bersama Nada—sedang menyiapkan makan malam.

"Nadia, saya mau bicara serius sama kamu," buka Dikta.

Nadia menatap Dikta yang terlihat dingin. Kenapa lagi dia? Apa efek dari lelah seharian menyalami tamu undangan?

"Apa?" tanya Nadia dengan tangannya masih sibuk merapihkan makan malam di meja makan.

"Mulai besok kamu cuti kuliah dan fokus sama pengobatan, kemoterapi, dan segala urusan untuk kesembuhan kamu,"

Huh! Itu terdenger seperti bukan bantahan. Dikta seperti bukan memberikan pilihan tapi menyuruh.

Nadia terkejut. Kuliah adalah kesehariannya. Di kampus Nadia bisa ketemu teman dan belajar, bahkan bercerita banyak hal bersama Fadlan, Pinkan, Aldo, dan anak organisasinya. Dan malam ini dengan mendadak pak Dikta mengatakan hal tersebut. Nadia terkejut dan kecewa. Maksudnya apa? Ini tidak ada diperjanjian sebelumnya!

"Kenapa tiba-tiba putusin begitu? Bapak–maksudnya Mas gak bilang sama aku dulu. Apa pendapat aku gak penting di sini?" tanya Nadia, menatap Dikta campur aduk.

Dikta menghela napas berat. "Bukan gitu, Nadia. Surat cuti kamu sudah saya urus. Lagipula pengobatan kamu perlu banyak menghabiskan waktu, kalau sambil kuliah saya gak yakin kamu bisa konsultasi ke dokter secara rutin. Ini cara alternatif supaya kamu cepat sembuh."

Kali ini giliran Nadia yang menghela napas. Dikta benar-benar membuatnya pusing.

"Aku masih mau kuliah, Mas."

Nadia mengatakan itu dengan tegas. Dikta tahu Nadia sedang menahan marah. Tapi bagi Dikta, ini cara yang paling benar agar Nadia bisa mendapatkan penanganan yang baik dan tepat.

"Saya tau. Kamu masih bisa kuliah kok, tapi tunggu pulih dulu," balas Dikta.

"Pulih gimana? Aku masih waras kok, Mas. Badanku masih bisa digerakan semua. Lagipula kemoterapi cuma buat buang-buang uang. Kemoterapi cuma bisa memperlambat aku meninggal aja, bukan menyembuhkan," Nadia berujar dengan matanya yang menggenang.

"Jangan bilang begitu, Nadia! Itu gak baik," balas Dikta mencoba mendekati Nadia. Hendak memeluk gadis yang kini telah resmi menjadi istrinya itu. Namun sayangnya Nadia menghindar.

"Mas tau sendiri penyakit aku belum dapet obatnya. Kamu tau juga kalau kanker otak harapan hidup panjang dan kembali normalnya sangat kecil. Setidaknya biarin aku lakuin semua yang aku mau selama aku masih bisa hidup. Jangan larang aku yang bikin kita nyesel nantinya."

Nadia beranjak pergi. Bukan ke kamarnya dengan Dikta melainkan ke kamar Nada. Ia hendak menyuruh anak itu untuk makan. Nadia berniat untuk tidak tidur bersama Dikta untuk malam ini, ia mau tidur di kamar tamu saja. Nadia terlalu emosional untuk malam ini. Nadia harap Dikta mau mengerti dan membiarkannya sendiri dulu.

*****

Semalaman Dikta tak bisa tidur. Ia menunggu Nadia untuk masuk kamar, ia mau minta maaf. Saat makan malam tadi yang makan hanya ia dan Nada saja. Nada bilang Nadia tidak bisa makan bareng karena sedang mengerjakan tugas, jadi makannya menyusul nanti. Tapi Dikta tahu itu hanya alasan klise untuk Nadia menghindarinya. Dikta juga lihat tadi Nadia berjalan menuju kamar tamu.

"Dia belum makan malam," gumam Dikta. Lantas beranjak dari tidur tidak tenangnya itu menuju dapur. Hendak menyiapkan makanan untuk Nadia.

*****

Tok. Tok.

Tak ada jawaban. Dikta tahu Nadia belum tidur. Lampu kamarnya masih menyala.

"Nadia, buka pintunya. Kamu belum makan malam, ini saya bawakan untuk kamu," kata Dikta tapi masih hening juga dari dalam.

Tak lama ada secarik kertas yang keluar dari arah dalam. Dikta menaruh nampan di lantai dan mengambil kertas itu, membacanya.

'Aku gak laper'

Begitu pesannya.

Dikta kembali mengetuk pintu. "Makan dulu, sedikit saja. Paling tidak buka pintunya, minum sedikit. Saya juga mau minta maaf soal tadi. Buka ya pintunya? Masa saya minta maafnya sama pintu," keluh Dikta.

Sedangkan dari dalam kamar, Nadia kebingungan. Ia sebetulnya lapar, tapi ia gengsi. Niatnya sih tengah malam nanti ia akan mengendap-endap ke dapur untuk diam-diam makan. Nadia bingung harus buka pintunya atau enggak. Takutnya Nadia malah makin kesal lagi lihat wajah Dikta.

Tapi dengan sekuat yang Nadia bisa, ia mengenyahkan gengsinya. Lantas membuka pintu dengan ekspresi tak bersahabat.

"Nih, makan!" Dikta berdiri buru-buru dengan tangannya menyodorkan nampan berisi makan malam dan segelas air. "Saya tau kamu lapar. Buka pintunya, ya? Biarin saya masuk. Kalau ngobrol gini nanti Nada dengar."

Nadia menaikan sebelah alisnya. Masih mempertahankan posisinya yang hanya membuka pintu sedikit.

"Siapa juga yang mau ngobrol sama Mas? Aku enggak," tolak Nadia.

Fyi, Nadia mulai memanggil Dikta Mas sejak tadi diperjalanan pulang. Itu kesepakatan bersama. Biar lebih terdengar harmonis aja sih.

"Saya, Mas, yang mau ngobrol sama kamu," balas Dikta yang lantas mendorong pintu kamar dengan lututnya. Membuat Nadia terseret tak kuat menahan.

Dikta kembali menutup pintu. Menaruh nampannya di atas nakas. Lantas, "Mas minta maaf soal tadi. Mas emang kedengeran egois banget. Tapi Mas gak ada maksud kekang kamu..."

Dikta menghela napas. Nadia masih diam mendengarkan.

"Baik, kamu boleh tetap kuliah selama pengobatan. Tapi jangan ikut organisasi, jangan capek-capek, dan jangan banyak pikiran. Jangan paksain pokoknya. Dan kamu harus rutin ke rumah sakit sesuai jadwal. Kalau perlu Mas aja yang antar, jangan naik taksi!"

"Jadi kesimpulannya apa?" tanya Nadia.

"Kamu boleh kuliah, cuti kamu Mas batalin. Nanti Mas yang urus. Tapi! jadwal kamu mulai sekarang Mas yang atur. Kali ini boleh Mas minta kamu gak nolak?" Dikta menatap penuh harap gadis berumur 22 tahun itu.

Nadia ingin sekali tersenyum. Ia merasa menang. Tapi Nadia gengsi, jadi cuma mengangguk aja.

"Deal. Tapi jadwalnya jangan aku sendirian. Aku mau sejadwal sama temen-temen aku," pinta Nadia.

"Oh, iya oke. Siapa saja temen-temenmu? Nanti kirim saja NIM dan nama panjangnya," balas Dikta yang Nadia angguki.

"Udah dimaafin belum?" tanya Dikta kemudian.

"Udah," ketus Nadia.

"Boleh peluk?" dengan ragu Dikta bertanya.

Nadia benar-benar ingin tersenyum. Ia baru tahu kalau Dikta itu bucin akut. Curiga, kalau Dikta sudah cinta mati padanya! Lantas Nadia mengangguk mengiyakan. Dengan buru-buru Dikta memeluk gadis yang lebih pendek darinya itu erat-erat.

"Jangan jauhin Mas lagi..." suara Dikta mendadak terdengar seperti puppy.

"Bucin!" kekeh Nadia, membalas pelukan Dikta tak kalah erat.

*****

Next chapter on progress...

Ini partnya agak panjang wkwk

Beloved StepmotherWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu