Dua Puluh

430 23 6
                                    

Hidup.

Memang tidak ada yang tahu bagaimana dan kapan hidup akan berakhir. Ayah kira, ia akan bisa Bersama Diaz hingga rambutnya memutih. Ayah kira, ia masih bisa menimang cucu Diaz, melihat cucu itu tumbuh dan memberinya cicit. Sayangnya, hidup tak seindah yang Ayah bayangkan.

Sebenarnya, Ayah sudah berhenti berharap sejak melihat perjuangan Diaz. Dia hanya terus mengusahakan yang terbaik, sekaligus mendoakan yang terbaik untuk putera semata wayangnya. Ia sudah tidak berharap apa pun, terutama setelah melihat Diaz menjerit kesakitan setiap kali menjalani proses pengobatan. Ia hanya ingin yang terbaik untuk puteranya, apa pun itu.

Seperti saat ini.

Pakaiannya bahkan masih penuh dengan darah Diaz. Darah itu bahkan belum mengering. Namun, anaknya sudah tak lagi berada di dunia ini. Tubuh hangat yang beberapa waktu lalu masih ia peluk, kini sudah mendingin. Wajahnya terlihat damai meskipun pucat dan mulai membiru. Ia hanya bisa memeluk Ibu yang terus meraung, sementara dirinya masih terpaku menatap Diaz yang sudah ditutup kain.

Serangan Jantung.

Katanya, itu yang membuat Diaz meninggal. Jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak sesaat setelah ia kejang hebat. Entah bagaimana itu terjadi. Nyatanya, bukan kanker yang mengambil Diaz dari pelukannya. Diaz sudah sembuh, itu yang dokter katakan enam bulan yang lalu. Setiap proses pengobatan yang menyakitkan itu berhasil Diaz lewati. Penyakit itu tak mengambilnya. Justru jantungnya yang kelelahan hingga berhenti berdetak tepat di usianya yang menginjak 14 tahun.

Ayah tidak menyalahkan Tuhan.

Setengah hatinya memang masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Bagaimana anaknya yang begitu ceria pagi ini, berlarian di taman tiba-tiba mimisan, muntah darah, kejang dan tak bernyawa bahkan sebelum ambulance sampai di rumah sakit. Setengahnya lagi berterima kasih pada Tuhan karena sudah menyembuhkan puteranya dengan cara terbaik.

Ayah selalu tahu.

Untuk setiap malam-malam panjang yang Diaz lalui dengan menahan sakitnya sendiri, berusaha untuk tidak membangunkan siapa pun meski tubuhnya dihujam rasa sakit. Pun dengan malam terakhirnya yang diisi dengan mimisan dan muntah. Sayangnya, Ayah hanya diam. Bukannya tidak sayang. Entah bagaimana otaknya menolak untuk percaya apa yang ia lihat. Bahwa mungkin, anaknya akan segera meninggalkannya.

Dan sekarang, semuanya menjadi nyata.

Seiring dengan tubuh Diaz yang dibawa pergi oleh perawat untuk dimandikan, ketakutan Ayah menjadi nyata, senyata rasa sakit yang ia rasakan, juga perih karena cakaran yang Diaz berikan ketika kesakitan tadi.

Diaz, putranya, putera semata wayangnya, telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Till Last Breath ✔Where stories live. Discover now