Enam

240 24 2
                                    

Diaz menatap menu sarapannya yang ada di atas meja kecil tanpa minat. Dia baru tahu masakan rumah sakit cenderung hambar, tidak ada rasanya. Entah lidahnya yang bermasalah atau memang mereka sengaja memberi sedikit sekali bumbu di masakan mereka. Melihat ekspresi Diaz, Nico tanpa sadar tersenyum tipis, teringat hari-hari pertamanya menjadi tahanan di rumah sakit.

"Eh, Diaz, lomba makan, yuk?" kata Nico tiba-tiba. Diaz lantas menatap Nico, bingung.

"Lomba makan?"

"Iya, yang selesai makan duluan, dia bisa mainin robot yang kita pinjem dari Kak As kemarin. Gimana?" Diaz langsung menatap robot yang kemarin ia pinjam dari Rashi, robot yang membuatnya nyaris bertengkar dengan Nico hanya karena memperebutkan robot itu.

"Oke, yang selesai duluan dia boleh main robot seharian, oke?"

"Deal! Setelah hitungan ke tiga, ya? Satu, dua, tiga!"

Diaz segera meraih sendoknya dan menyuapkan menu sarapannya dengan buru-buru, sementara Nico hanya tersenyum sambil menatap Diaz. Rencananya terbukti berhasil. Dia bisa membuat Diaz memakan menu sarapannya. Dengan santai dia meraih sendok dan mulai menikmati sarapannya.

"Selesai!" teriak Diaz senang. Di sampingnya, Nico pura-pura terkejut dan menghela napas kesal, kemudian menyerahkan robot yang tadinya diletakkan di nakas samping tempat tidurnya pada Diaz dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.

"Yes! Hari ini dia sama aku, pokoknya sama aku. Gak boleh diminta lagi, loh!"

"Iya-iya!"

Nico tidak menyangka hal sesederhana itu sudah bisa membuat Diaz sebahagia ini. Senyum di wajah Diaz bahkan tidak berkurang sedikitpun. Sambil memainkan robot miliknya dan milik Rashi seolah dua robot itu tengah berkelahi, Diaz sesekali mengucapkan dialog-dialog lucu. Mungkin anak itu tengah membayangkan adegan terbaru dari komiknya. Di sampingnya, Nico asik mendengarkan sambil sesekali terkikik, lucu juga teman barunya ini.

"Diaz? Siap kemo pertamanya?" Tiba-tiba Suster Risha memasuki ruang rawat mereka, membuat senyum Diaz luntur seketika. Perasaan takut yang sejak pagi tadi menguasainya kembali datang, terutama saat melihat dua dokter yang berjalan mendekatinya, Dokter Aldo dan Dokter Nathalie.

"Siap!"

Dibantu Suster Risha dan Ibu, Diaz berpindah dari ranjangnya ke kursi roda yang memang sudah dibawakan oleh Suster Risha, sementara Nico terus mengamati teman barunya itu. Dia tahu Diaz pasti tengah ketakutan sekarang, sama seperti kali pertamanya cuci darah dulu.

"Semangat kemonya!" teriak Nico ceria saat Diaz mulai melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan, mengikuti dokter Aldo dan Dokter Nathalie yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. Diaz tersenyum sambil mengacungkan jempolnya pada Nico. Sebenarnya jantungnya tengah berdetak sangat kencang sekarang. ini pengalaman pertamanya menjalani kemo. Meskipun Rashi pernah bilang padanya kalau kemo tidak menyakitkan, tapi tetap saja dia takut. Bagaimana jika jantungnya tiba-tiba berdetak saat dia kemo dan Dokter Aldo tidak bisa membantunya? Dia bergidik ngeri membayangkan hal itu.

💉💊💉💊💉💊

"Ini ruang kemoterapinya, Dok?" tanya Diaz tidak percaya begitu Suster Risha mendorongnya memasuki ruangan yang cukup aneh. Dia pikir ruang kemo akan menakutkan, tapi ruangan itu jauh berbeda dari bayangannya.

Diaz melihat ke sekeliling ruangan, tidak hanya dirinya, ada sekitar tiga orang yang tengah menjalani kemoterapi. Salah satunya adalah kakek berusia lanjut yang duduk di ujung ruangan sambil membaca koran. Sepertinya benar kata-kata Rashi, kemoterapi itu tidak sakit.

"Diaz, udah siap?" tanya Dokter Nathalie. Diaz memberikannya anggukkan singkat, meskipun hatinya masih ketakutan. Di sana tidak ada yang ditemani orang lain selama kemo, tapi dia benar-benar ingin ibu berada di sampingnya saat dia kemo.

"Dok, boleh gak kalo kemonya ditemani Ibu?" tanya Diaz nyaris seperti bisikan. Dokter Nathalie tersenyum simpul, mengerti bahwa pasiennya ini tengah ketakutan. Dia kemudian mengangguk, bahkan langsung meminta tolong Suster Risha untuk memanggilkan ibu Diaz.

"Sambil menunggu ibu, Dokter Aldo periksa dulu, ya?" Diaz mengangguk pasrah, membiarkan Dokter Aldo menempelkan kepala stetoskop di tubuhnya sementara ia terus menatap ke arah pintu, berharap Ibu akan segera datang.

Tepat saat Dokter Aldo selesai memeriksa, Ibu datang dengan wajah paniknya yang langsung disambut oleh senyum manis dua dokter Diaz. Mereka langsung menyuruh Ibu untuk duduk di samping kiri Diaz selagi mereka mendiskusikan dosis yang pas untuk Diaz karena ini kemoterapi pertama yang akan Diaz lakukan. Setelah sepakat, Dokter Aldo memasukkan selang yang terhubung pada kantung obat kemoterapi ke dalam kateter yang semalam dipasang di tubuh Diaz.

"Kalau sakit atau ngerasa gak enak, langsung bilang, ya?" kata Dokter Aldo. Diaz hanya mengangguk, menikmati sensasi aneh saat melihat cairan aneh itu mulai mengaliri selang dan masuk ke dalam tubuhnya.

"Ibu, tangan," pinta Diaz saat tiba-tiba ia merasa sedikit sesak. Begitu tangan Ibu berada dalam genggamannya, ia lantas meremasnya kuat-kuat, tapi dia tidak berani mengatakan apa pun, terutama saat melihat semua orang terlihat baik-baik saja. Dia ingin menahan semuanya sambil berpikir penyakit ini tidak ada apa-apanya. Tapi perlahan dia merasa detak jantungnya tidak beraturan dan tubuhnya berangsur nyeri, napasnya juga semakin sulit hingga tanpa sadar dia merintih kesakitan.

"Diaz? Mana yang sakit, Nak? Bilang sama Ibu." Diaz tidak menjawab. Dia hanya terus mencengkeram tangan ibu sambil mengerutkan keningnya, sesekali merintih, selebihnya dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dokter Aldo mengatakan itu wajar karena ini kemo pertama Diaz. Dia hanya meminta Diaz untuk menahannya.

"Dokter, sesak," keluh Diaz akhirnya. Dia benar-benar tidak bisa bernapas hingga dia takut akan mati karenanya. Dokter Aldo segera memasangkan nasal canula pada Diaz agar dia bisa bernapas lebih baik.

Selama hampir lima jam, Diaz bergelung dengan rasa sakit yang begitu menyiksanya tanpa bisa melakukan apa-apa selain merintih dan meremas tangan ibu. Dia bahkan tidak bisa membuka matanya saking sakitnya. Di sampingnya, ibu hanya bisa menggenggam tangan Diaz dan menangis di sampingnya, tidak tahu harus melakukan apa.

Selesai kemoterapi, Diaz yang kelelahan tidak sadar bahwa dirinya sudah dipindahkan ke ruang rawatnya lagi. Nico yang tengah menggambar di buku gambar pemberian Rashi menatap Diaz nanar. Tidak lama setelah dibawa kembali ke ruangannya, Diaz meringkuk di tempat tidurnya dengan menjulurkan kepalanya ke bawah. Ibu buru-buru mengambil wadah dan memposisikannya di bawah Diaz.

Huek... huek... huek...

Seperti dugaan Ibu, Diaz segera memuntahkan isi perutnya yang serasa dikocok-kocok sejak tadi. Tubuhnya benar-benar lemas, dia hanya melirik Nico dan ibu sambil menggumamkan kata maaf, setelahnya Diaz kembali memuntahkan isi perutnya hingga tidak ada lagi yang bisa dia muntahkan.

"Maaf, Bu." Diaz berujar lirih dengan air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Dia hanya sempat bersandar sejenak sebelum perutnya kembali berulah dan membuatnya harus memuntahkan cairan lambungnya.

Di sampingnya, Ibu dengan sabar memijat tengkuk Diaz sambil berusaha menulikan telinga saat mendengar erangan dan suara muntahan Diaz yang terdengar begitu menyakitkan. Meskipun dengan sabar merawat Diaz, ibu tetap menguraikan air mata di wajahnya, tidak tega melihat Diaz harus merasakan semua ini.

Diaz ingin sekali meminta ibu untuk tidak menangis, tapi sebelum kalimatnya keluar, sensasi mual kembali muncul dan dia kembali memuntahkan isi perutnya yang sudah tidak ada apa-apa di dalamnya. Setelahnya, dia hanya bisa bersandar terengah-engah, kelelahan.

"Bu, maaf." Diaz berbisik sangat lirih pada ibunya, membuat air mata ibunya semakin deras mengalir. Ibu tidak bisa mengatakan apapun selain menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Diaz menggeliat pelan. Rasa sakit di tubuhnya benar-benar menyiksanya. Tubuhnya serasa dibakar dari dalam, membuatnya menangis bahkan saat dirinya tidak ingin menangis.

"Bu. Sakit banget." Ibu menangis semakin keras. Dia membelai rambut Diaz yang basah karena keringat.

"Sabar, ya, Nak? Katanya mau sembuh? Mau sekolah bareng Fachri lagi. kita berjuang bareng, ya, Nak?" Ibu menyeka keringat yang mengalir di wajah pucat Diaz. Anaknya itu kembali menggeliat kesakitan.

"Sakit banget, Bu." Ibu tak kuat melihat anaknya menggeliat kesakitan. Dengan lengan yang masih dicengkeram Diaz, ia memeluk tubuh ringkih itu erat-erat. Dia baru melepaskan pelukannya saat Diaz melemas, jatuh tertidur setelah kelalahan menahan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya.

"Sabar, ya, Nak. Maaf ibu gak bisa bantu apa-apa."

Till Last Breath ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu