Delapan Belas

191 21 1
                                    

Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah sederhana yang terlihat asri. Dari kursi depan di samping kemudi, Ayah keluar sambil tersenyum ramah, menyapa para tetangganya yang menyambut kepulangan keluarganya dari halaman rumah masing-masing.

"Diaz udah sehat, Pak?" tanya Bu Nur, tetangga yang rumahnya tepat di samping kanan rumah Ayah. Sambil membantu Diaz keluar dari mobil, Ayah mengangguk dengan senyuman yang semakin lebar di wajahnya.

"Iya, Bu Nur. Berkat doa Bu Nur dan keluarga, terima kasih banyak, ya?"

"Syukur, deh. Jangan capek-capek, ya, Diaz? Harus makan sehat mulai sekarang." Diaz yang masih lemas dan mengantuk hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis. Tangannya tanpa sadar meremas tangan Ayah yang tengah memeganginya, membuat Ayah buru-buru menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Kenapa?"

"Ayo jalan, Yah. Diaz malu jadi tontonan begini," bisik Diaz lirih. Ayah tertawa mendengar kata-kata Diaz. Dia maklum dengan sikap tetangga-tetangganya yang begitu penasaran dengan kondisi Diaz, mengingat kabar Diaz yang menderita kanker dengan cepatnya menyebar di kompleks.

"Maaf, Bu. Saya bawa Diaz masuk dulu, ya? Kasian, masih belum bisa lama-lama kena udara luar." Para tetangga itu kompak mengangguk, malah meminta Ayah untuk buru-buru membawa Diaz yang terlihat sangat lemas itu masuk ke dalam rumah. Di belakang mereka, Ibu dibantu Dokter Aldo membawa masuk barang-barang yang mereka bawa pulang dari rumah sakit. Ya, Dokter Aldo lah yang mengantar Diaz dan keluarganya pulang ke rumah.

Diaz tiba-tiba menghentikan langkah kakinya saat berada di ruang tamu. Matanya menatap ke sekeliling, tidak ada yang berubah dari rumahnya, masih sama seperti saat ia meninggalkannya dulu. Perlahan, Diaz menurunkan masker yang sejak tadi menutupi hidung dan mulutnya. Ia menarik napas dalam-dalam. Sungguh, ia rindu dengan aroma ini, aroma rumah.

"Kangen banget, ya, sama rumah?"

"Iya. Udah lama gak masuk ke rumah ini, tapi aromanya gak pernah berubah, ya, Yah? Suka banget sama aromanya, seger, bukan aroma obat-obatan kayak di rumah sakit," celetuk Diaz polos. Dari belakang, Ibu dan Dokter Aldo yang ikut mendengarkan perkataan Diaz saling pandang, kemudian tersenyum maklum. Mereka seolah bisa merasakan apa yang Diaz rasakan.

"Diaz kan udah mendingan sekarang, mau adain syukuran kecil-kecilan, gak?"

"Emang boleh, Yah?"

"Boleh banget. Kan sekaligus bilang makasi ke mereka karena udah doain Diaz selama ini. Tanpa doa mereka, Diaz belum tentu bisa ada di sini. Iya, gak?"

"Iya, Yah. Diaz mau."

"Oke. Kebetulan besok hari minggu, kita undang temen-temen sama guru-guru kamu ke sini, ya?"

"Iya, terserah Ayah aja. Tapi, uangnya pake uang Diaz sendiri, ya, Yah? Kan ini syukurannya Diaz. Itu juga udah jadi salah satu janji Diaz ke Tuhan kalo Diaz sembuh. Boleh, Yah?"

"Boleh banget. Ayah bener-bener bangga sama Diaz. Terima kasih, ya, udah bertahan sampai detik ini?"

"Diaz juga makasi banyak ke Ayah udah berjuang bareng Diaz selama ini."

Ayah, Ibu dan Dokter Aldo terharu mendengar kalimat-kalimat yang meluncur indah dari bibir mungil Diaz. Di usia yang masih sangat muda, Diaz sudah sangat dewasa menyikapi segala yang terjadi dalam hidupnya. Mereka bahkan tidak bisa membayangkan andai ada di posisi Diaz, apa yang akan mereka lakukan. Dari Diaz, mereka benar-benar belajar tentang perjuangan dan ikhlas.

💊💉💊💉💊💉

Diaz tersenyum lebar melihat satu per satu temannya memasuki halaman rumah. Ternyata, dia sangat merindukan teman-temannya itu. Tidak hanya teman sekolah, ia juga mengundang anak-anak di sekitar tempat tinggalnya yang dulu sering bermain bersamanya. Namun, meski ruang tamu dan teras rumahnya sudah dipenuhi teman-teman, Diaz masih setia berdiri di depan rumah, menunggu orang-orang yang paling penting untuknya.

"Nunggu siapa lagi?" tanya Ibu kebingungan. Di dalam rumah, para tamunya sudah mulai berisik, entah menceritakan sekolah, game atau olahraga favorit mereka. Diaz sendiri hanya mengacuhkan pertanyaan Ibu sambil terus menatap tikungan jalan dengan tatapan resah.

"Diaz, nunggu siapa?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

"Fachry, Achi, Kak Laras, sama Kak As belum dateng, Bu."

"Achi sama Kak Laras gak bisa dateng, mereka kejauhan kalo harus ke sini. Nanti video call aja katanya. Kalo Kak As sama Kak Rashka ada acara penting, kan semalam Ibu udah bilang sama Diaz."

Diaz menepuk dahinya pelan dengan telapak tangannya. Iya, Ibu sudah memberitahunya semalam, bagaimana bisa dia lupa? Pagi tadi juga, andai Ibu tidak membangunkannya untuk bersiap-siap, Diaz pasti sudah lupa dengan acara ini.

"Tinggal Fachry berarti yang belum, ya, Bu?"

"Iya. Kita tunggu lima belas menit lagi, ya? Kalo belum datang juga kita mulai aja, biar nanti Fachry nyusul. Kasian teman-teman kamu di dalam."

"Iya, Bu."

Diaz membiarkan Ibu kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkannya yang masih setia menunggu kedatangan Fachry dengan perasaan was-was. Padahal, semalam saat ia menghubungi Fachry, sahabatnya itu berjanji akan datang bersama orang tuanya.

"Ah, itu dia!" teriak Diaz tanpa sadar saat melihat Fachry berjalan terburu-buru mendekatinya. Di belakangnya, Ayah dan Ibu Fachry terlihat kesulitan mengimbangi langkahnya. Mereka membiarkan Fachry berlari lebih dulu.

"Maaf telat. Angkotnya mogok tadi. Kita bertiga jadi harus jalan dari perempatan depan sana."

"Syukur deh kalian baik-baik aja. Aku khawatir kalian kenapa-kenapa dari tadi."

"Santai. Ngomong-ngomong, udah rame, ya? Jangan-jangan kamu di sini cuma nungguin aku aja?"

"Iya. Yuk, masuk."

Acara syukuran langsung dimulai saat Diaz dan Fachry memasuki rumah. Ayah memberikan sambutan lebih dulu, mengucap terima kasih kepada mereka yang sudah mau datang dan juga mendoakan Diaz selama ini, dilanjut dengan Ibu yang juga mengucapkan beberapa patah kata sebelum Diaz mengucapkan terima kasihnya.

Selain doa bersama, Diaz menyiapkan beberapa permainan yang bisa ia mainkan bersama dengan teman-temannya agar suasana tidak terlalu kaku dan membosankan. Di luar dugaan, wali kelas Diaz membawa proyektor untuk menonton bersama. Mereka memilih menonton film Lion King yang baru saja tayang di bioskop beberapa waktu yang lalu.

"Sst, Fachry!" bisik Diaz tepat di telinga Fachry. Sahabatnya itu buru-buru menoleh sambil menatap Diaz dengan tatapan bingung dan khawatir.

"Ada apa? Butuh apa? Kamu sakit?" tanya Fachry sedikit panik. Tanpa sadar Fachry ikut berbisik seperti yang Diaz lakukan.

"Ikut aku ke kamar sebentar." Diaz merangkak perlahan, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar teman-temannya yang tengah menonton film tidak terganggu. Beruntung ruangan itu gelap, sehingga tidak ada yang melihatnya dan Fachry menyelinap keluar.

"Nih!" Diaz menyodorkan sebuah kado terbungkus kertas kado berwarna biru pada Fachry setelah mereka sampai di kamar Diaz.

"Ini apa?" tanya Fachry kebingungan.

"Itu khusus buat kamu, buka deh!" pinta Diaz.

"Ehh jangan deh!" cegah Diaz saat Fachry akan membuka kado yang ada di tangannya itu.

"Ih, Diaz! Gimana, sih. Tadi disuruh buka, sekarang jangan," protes Fachry kesal.

"Aku malu, nanti aja di rumah bukanya."

"Oke, deh. Terserah kamu aja."

"Emm, Fachriy. Terima kasih, ya? Kamu mau jadi temen baik aku selama ini, selalu dukung aku," ucap Diaz tiba-tiba. Fachry yang merasa terharu spontan memeluk erat Diaz bahkan menangis dalam pelukan sahabatnya.

"Terima kasih, Fachry. Maafkan aku, ya, kalo aku sering bikin kamu kesal, terima kasih sekali lagi."

"Udahan ah makasih-makasihnya. Aku juga senang jadi teman kamu. Aku senang kamu berjuang melawan penyakitmu itu. Makasi udah bertahan hingga detik ini."

Till Last Breath ✔Where stories live. Discover now