Dua Belas

190 21 1
                                    

Hari ini matahari bersinar cerah, langitnya sedikit berawan memang, tapi tidak menghalangi sinarnya. Dari kamar rawatnya, Diaz melenguh pelan. Matanya masih sangat sulit untuk dibuka. Padahal, jam di dinding sudah hampir menunjuk angka satu. Akhirnya, dengan sedikit memaksa, mata itu terbuka juga. Diaz mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba beradaptasi dengan cahaya di ruangannya.

"Terang banget, ya?" bisik Diaz lirih. Pandangan matanya mengedar. Pantas saja dia bisa tidur sepulas itu, dua teman sekamarnya juga tengah tertidur pulas rupanya. Diaz menarik laci di samping tempat tidurnya, mengambil salah satu komik Conan miliknya dan mulai membacanya sambil menyandarkan diri di headboard.

Tes, tes, tes!

Mata Diaz membola mendapati komiknya kini penuh dengan tetesan darah. Dia panik seketika, tangannya buru-buru meraih tisu di atas nakas dan menahan aliran darah itu dengan tisu sementara kepalanya ia tundukkan dalam-dalam. Perlahan, ia turun dari tempat tidur sambil mendorong tiang infusnya ke kamar mandi.

"Tuhan, sakit," lirih Diaz di tengah ringisannya, kepalanya sakit luar biasa, begitu juga dengan persendiannya. Darah yang keluar juga tak kunjung berhenti, membuat tubuhnya semakin lemas dan napasnya memendek. Tubuh Diaz gemetar, antara lemas dan takut.

"Tolong, berhenti, jangan keluar terus!" Diaz seolah tengah memaki darah yang terus mengalir melalui hidungnya. Aroma anyir itu membuatnya mual. Dalam hitungan detik, isi perutnya pun ikut keluar. Diaz kewalahan sendiri dengan kondisi tubuhnya. Tangannya sampai mencengkeram pinggiran wastafel untuk mempertahankan tubuhnya.

"Ayo, berhenti!"

Tanpa sadar, Diaz menangis keras di dalam sana. Dia sudah merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Bukan, bukan karena ada kanker di dalam darahnya, tapi karena pengobatan yang dia jalani sepertinya tidak berujung indah. Justru, dia semakin sering sakit entah itu demam, diare, sariawan atau seperti sekarang ini, mimisan berujung muntah. Jujur, dia lelah. Dalam hati kecilnya, dia yakin pengobatannya tidak berjalan dengan baik. Tapi, dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya, juga teman-temannya.

"Tuhan, maaf," bisik Diaz. Menyesal telah berpikir untuk menyerah. Dia yakin sekarang ini Tuhan ingin melihat perjuangannya, menguji seberapa sabar ia dalam ujian ini dan nanti Tuhan akan hadirkan indah di akhir. Ya, dia yakin itu!

Begitu darah dan muntahnya berhenti, Diaz justru tidak punya tenaga lagi untuk berdiri. Tubuhnya ia jatuhnya begitu saja di atas closet sambil mengatur napasnya yang tersengal, sesak sekali. Kepalanya masih pening, malah semakin pening. Mungkin karena banyaknya darah yang ia keluarkan tadi. Perutnya juga melilit sakit. Dia bahkan belum makan siang, tapi sudah mengeluarkan isi perutnya.

Tanpa Diaz tahu, Nico mendengar semuanya, keluhan Diaz, muntahan dan batuknya yang begitu tersiksa, juga tangisannya. Di depan pintu kamar mandi, Nico ikut menangis seiring dengan suara tangis Diaz yang semakin kencang.

"Diaz, jangan menyerah, ayo terus berjuang bersama!" bisik Nico di depan pintu itu sambil membekap mulut agar Diaz tidak mendengar isakannya.

Kondisi Diaz sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Nico saat ini. tadi saat pemeriksaan, Dokter Nathalie mengatakan ginjal Nico sudah hampir tidak bisa berfungsi lagi. Cuci darah yang harus dia lakukan jadi semakin sering dan setiap malamnya Nico hampir tidak bisa tidur sama sekali. Rasa sakitnya selalu bisa membangunkannya, membuatnya merintih dan menangis diam-diam di dalam kamar mandi seperti yang Diaz lakukan sekarang ini.

Nico buru-buru menghapus air matanya saat suara air tak lagi terdengar. Dia mengetuk pelan pintu kamar mandi, "Diaz, kamu di dalem? Aku kebelet, nih!" ucap Nico dengan nada yang begitu ceria, tidak ada tanda-tanda dia baru saja menangis bersama Diaz.

Till Last Breath ✔Where stories live. Discover now