Empat

288 28 3
                                    

Aldo dan Nathalie, dua dokter spesialis kanker dan anak, berkali-kali saling pandang sambil melihat hasil pemeriksaan Diaz di layar komputer yang tengah mereka tatap. Tanpa sadar keduanya menarik napas panjang. Mereka selalu kesulitan untuk mengutarakan pada pasien tentang kondisi mereka, terlebih jika pasien itu adalah anak-anak seperti Diaz.

"Butuh bantuan?" Aldo dan Nathalie terlonjak hampir bersamaan. Keduanya kompak menghela napas panjang saat menyadari salah satu psikiater rumah sakit yang menyapa mereka. Gelengan pelan keduanya menjawab pertanyaan itu singkat, membuat psikiater yang tadi menawarkan bantuan lantas tersenyum.

"Anak-anak akan cepat mengerti, karena semangat hidup mereka tinggi. Mereka tidak mudah putus asa seperti orang dewasa. Jelaskan sesingkat dan sejelas mungkin, katakan pada mereka kalau kalian akan berjuang bersama mereka. Anak-anak pasti akan mengerti," saran psikiater itu sebelum menepuk pundak Aldo dan meninggalkan mereka dengan senyuman tipis di bibirnya. Sepeninggal psikiater itu, keduanya masih kompak terdiam, mengamati hasil pemeriksaan Diaz sambil sesekali menarik napas panjang.

"Yuk, lah. Lebih cepat lebih baik, 'kan?" Nathalie mengangguk, meskipun pandangan matanya tak lepas memandangi hasil kertas di depannya. Setelah menarik napas beberapa kali, Nathalie akhirnya berdiri, menyambut tangan Aldo yang sudah terulur lebih dulu.

"Apa pun responnya nanti, kita hadapi bersama-sama." Nathalie kembali mengangguk, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya.

💉💊💉💊💉💊

Diaz duduk dengan kepala tertunduk, terlihat jelas wajah pucatnya dibasahi bulir air mata. Masih terekam jelas, perkatan sang Ayah ditemani dua dokter yang kemarin memeriksanya itu memberitahukan hasil tes kesehatannya. Diaz berkali-kali menggelengkan kepala, masih tidak percaya ia mengidap penyakit mematikan itu.

"Diaz kanker darah, Yah?" tanya Diaz sekali lagi pada ayahnya, masih belum bisa percaya. Ayah menatapnya nanar sambil mengangguk sekali, sedangkan ibu sudah tidak kuat hanya dengan wajah Diaz yang semakin memucat.

"Gak mungkin, Yah! Ayah pasti bohong!" Diaz berteriak sekeras mungkin, tidak perduli saat ini ia masih berada di dalam ruang UGD karena belum mendapatkan kamar rawat.

"Diaz," panggil ibu lirih. Gelengan kepala Diaz yang semakin kuat membuatnya langsung menarik Diaz ke dalam pelukannya. Membiarkan anaknya menangis histeris di sana.

"Diaz pasti sembuh. Dengar kata Dokter Nathalie sama Dokter Aldo tadi, 'kan? Mereka akan berusaha buat sembuhin Diaz. Diaz gak boleh nyerah." Ibu mengatakannya pelan sambil terus membelai puncak kepala Diaz. Suaranya bergetar menahan tangis. Dia harus kuat untuk menguatkan Diaz.

"Pasti sembuh, Bu?" Diaz mendongakkan kepalanya, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca dan wajah yang masih basah dengan air mata.

"Yakin sama Tuhan, ya, Nak?" jawab Ibu dengan senyum tipis di wajahnya. Diaz perlahan mengangguk, kemudian menatap ayahnya yang belum juga beranjak dari sisinya, rupanya sejak tadi Ayah menggenggam erat tangan kirinya yang bebas dari jarum infus. Saking syoknya, Diaz bahkan tidak menyadari hal itu.

"Yah, lalu bagaimana dengan biaya rumah sakitnya? pasti mahal, 'kan? Sekolah Diaz juga, bagaimana?" Ayah terlihat terkejut mendengar pertanyaan Diaz yang tidak disangka. Jujur, dia juga memikirkan hal itu. Meskipun beberapa biaya bisa ditanggungkan ke asuransi kesehatan dari tempatnya bekerja, biaya pengobatan Diaz masih mahal untuknya.

"Jangan khawatir, itu urusan Ayah sama Ibu. Yang penting Diaz semangat buat sembuh. Ikuti semua kata dokter." Diaz menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia tahu biaya pengobatannya tidak murah. Jangankan untuk membiayai pengobatannya, untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja Ibu harus pintar-pintar memutar otak.

Till Last Breath ✔Where stories live. Discover now