Tiga

302 32 0
                                    

Seminggu setelah kejadian itu, Diaz merasa banyak yang berubah dari tubuhnya. Meskipun tidak lagi demam, dia merasa tubuhnya mudah sekali lelah. Ada banyak memar juga di tubuhnya. Padahal, dia yakin tidak menabrakkan tubuhnya. Setelah pulang sekolah, dia yang biasa menghabiskan waktu sore dengan bermain kini lebih banyak tidur.

Pagi ini pun tak berbeda. Diaz memulai harinya dengan rasa pusing yang cukup menyiksa. Namun, dia tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Dia tidak mau jika harus absen sekolah lagi.Diaz mengurut pelan pelipisnya saat menunggu Ayah memanaskan motor di halaman rumah.

"Diaz? Kenapa?" tanya Ayah menyadari tingkah anaknya yang aneh sejak tadi. Diaz perlahan menurunkan tangannya sambil menggeleng pelan, berusaha agar rasa sakit di kepalanya tidak semakin menjadi-jadi saat dia menggoyangkan kepala.

Ayah terlihat tidak percaya dengan jawaban Diaz. Dia langsung maju dan menyentuh kening putranya, takut anak itu kembali demam seperti waktu itu. Namun, kening Diaz justru dingin, begitu juga dengan tangan Diaz yang mencoba menjauhkan tangan Ayah dari keningnya.

"Ada yang sakit?" tanya Ayah lagi. Diaz kembali menggeleng. Sebelum ayahnya mengatakan apa pun yang bisa membuatnya tidak berangkat sekolah, Diaz buru-buru mengenakan helm miliknya dan berjalan mendekati motor Ayah.

"Yuk, Yah? Keburu macet."

Diaz pikir rasa sakit di kepalanya akan berkurang setibanya di sekolah. Namun, hingga upacara hampir berakhir dia masih bisa merasakannya, bahkan semakin menjadi-jadi. Pandangannya juga memburam beberapa kali, membuat Diaz harus mengerjapkan matanya berulang kali. Ketika kepalanya semakin berat dan pandangannya menggelap, Diaz sengaja menundukkan kepala dan memegangi Fachri yang berdiri tepat di sampingnya.

"Kenapa?" bisik Fachri mulai khawatir. Diaz hanya menjawabnya dengan gelengan.

"Diaz! Darah!" Tanpa sadar Fachri memekik, tepat saat tubuh Diaz oleng ke depan dan menubruk teman yang berbaris di depannya. Tangan Fachri refleks memegangi lengan Diaz, membuat tubuh sahabatnya itu jatuh ke arahnya, menumpu padanya.

Upacara bendera itu mendadak ricuh. Petugas PMR segera mengambil alih, mengangkat tubuh Diaz yang sudah kehilangan kesadaran dan membawanya ke UKS sambil setengah berlari. Meskipun Pembina upacara berusaha menenangkan para siswa, Fachri tidak bisa menghilangkan rasa takutnya. Tangannya yang tadi menahan tubuh Diaz masih gemetar hebat.

💉💊💉💊💉💊

Ibu tidak pernah mengira dia akan mendapati Diaz kembali terbaring lemah dengan tubuh seolah terbakar dari dalam dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis. Dia mendengarkan penjelasan dari perawat UKS dengan seksama, sementara tangannya masih menggenggam erat tangan Diaz yang anehnya dingin.

"Bu, dibawa ke klinik aja, ya?" Ibu hanya mengangguk pasrah.

Begitu mobil milik sekolah disiapkan di dekat UKS, Diaz yang masih belum juga sadar diangkat dengan tandu oleh dua orang guru laki-laki. Di belakangnya, Ibu berjalan dengan tergopoh-gopoh sambil membawa tas sekolah Diaz.

Sampai di dalam mobil, tubuh Diaz yang semula demam tinggi tiba-tiba kejang. Ini kedua kalinya ibu melihat puteranya kejang parah. Tangisnya semakin histeris, terutama melihat darah keluar dari mulut dan hidungnya.

"Pak, langsung rumah sakit saja. Kondisinya gak memungkinkan ke klinik!" teriak perawat UKS panik. Dia kini sibuk memegangi Diaz sementara Ibu hanya bisa menangis sambil memeluk tas anaknya. Dia bahkan lupa untuk menghubungi Ayah dan menceritakan apa yang terjadi pada Diaz.

💉💊💉💊💉💊

"Bu? Sudah menghubungi ayahnya Diaz?" Ibu menepuk keningnya mendengar pertanyaan perawat UKS yang sejak tadi menemaninya. Dia segera mengeluarkan ponselnya, mengetikkan pesan untuk Ayah agar segera datang ke rumah sakit.

"Diaz sering begini, Bu?" tanya Rani, nama perawat UKS di samping Ibu. Ibu menggeleng sebagai jawaban.

"Sejak kecil Diaz bukan anak yang gampang sakit, demam aja jarang. Paling-paling flu, tapi gak pernah sampai pingsan begini. Kalo flu juga dia maunya minum jeruk anget terus tidur, besoknya udah sembuh. Cuma kemarin itu, demam tinggi sampai kejang."

"Semoga gak terjadi apa-apa, ya, Bu? Kita berdoa bareng."

"Aamiin. Oiya, Mbak, maaf tanya. Ini biayanya gimana, ya?"

"Karena sekolah yang membawa ke sini, untuk pertolongan pertamanya ditanggung sekolah. Tapi, andaikan nanti perlu pemeriksaan lanjutan atau sampai dirawat, sekolah mungkin hanya membantu sedikit, Bu." Ibu mengangguk-angguk mengerti sambil harap-harap cemas. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Diaz, tapi dia juga takut dengan biaya yang harus ditanggung. Hanya ada uang seratus ribu di dalam dompetnya yang jelas tidak cukup jika Diaz memerlukan tindakan khusus.

"Bu!"

Teriakan Ayah cukup menggema di lorong rumah sakit, membuat Ibu dan Rani menoleh hampir bersamaan. Melihat suaminya, Ibu segera menghampiri dan tanpa sadar memeluk lelaki yang sudah menemaninya selama lima belas tahun itu.

"Gimana keadaannya, Bu?"

"Masih ditangani dokter, Yah."

Pemeriksaan berlangsung cukup lama. Banyak administrasi yang harus ibu urus, tapi dengan BPJS yang Diaz punya, mereka bisa menangani Diaz dengan baik. Ibu melihat dokter mengambil darah Diaz, kemudian menyuruhnya mengurus sesuatu yang diarahkan oleh perawat sebelum akhirnya tubuh Diaz dibawa ke ruangan yang lain untuk pemeriksaan yang lain.

Hampir pukul 9 malam, dokter yang menangani Diaz akhirnya keluar sambil membawa banyak dokumen. Dia memanggil ibu untuk datang ke ruangannya bersama dengan ayah, tapi karena Ayah belum juga datang dan Rani harus pulang, ibu akhirnya hanya menemui dokter sendiri.

"Perkenalkan, Bu. Nama saya Nathalie. Saya dokter spesialis anak di sini. Sebelumnya saya ingin bertanya, apa Diaz sering sakit selama ini?" Ibu menggeleng, juga beberapa pertanyaan mengenai keseharian Diaz. Sampai Dokter Nathalie tiba-tiba terdiam, menarik napas panjang, dan menatap Ibu lekat-lekat.

"Ibu, saya akan sambungkan ke bagian spesialis kanker sekarang."

"Kanker, Dok?"

"Ini masih kemungkinan, tapi seluruh pemeriksaan mengarah ke sana. Untuk memastikan saja, saya akan menghubungi bagian spesialis kanker agar diagnosa penyakitnya tidak salah."

Ibu mendadak lemas mendengar penjelasan dari dokter Nathalie. Dia hanya diam saat dokter laki-laki datang dan memperkenalkan diri dengan nama Aldo. Dokter itu meminta izin untuk melakukan beberapa tes lagi untuk meyakinkan diri dengan dugaannya. Ibu menurut saja.

Ibu kembali menunggu, kali ini dia tidak sendiri karena Ayah sudah pulang dan menemaninya. Begitu dokter Aldo dan Dokter Nathalie datang, mereka langsung membawa ibu dan ayah ke ruangan di mana Diaz tengah tidur dengan infus dan kantung darah yang terhubung ke tangannya.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan dan keterangan dari Diaz, dia positif terkena leukemia, Bu. Kanker darah."

Ibu menatap Dokter laki-laki itu tidak percaya. Anaknya kanker? Bagaimana bisa? Meskipun dia miskin, dia selalu memperhatikan gizi Diaz. Memastikan apa yang Diaz makan adalah makanan sehat meskipun tidak mahal. Bagaimana bisa anaknya itu terkena kanker?

"Bu, kanker tidak selalu bisa ditebak dari mana asalnya. Dari metastatiknya, kanker ini sudah cukup parah Bu. Diaz akan dirawat di sini untuk melakukan serangkaian kemoterapi agar penyakitnya tidak semakin memburuk."

Till Last Breath ✔Where stories live. Discover now