Prolog ll

853 127 21
                                    


"Tidak!" Suara Mebuki menggelegar memenuhi seisi ruangan. Matanya nyalang menatap sang pangeran yang tengah berdiri bersebelahan bersama putrinya. "Berani-beraninya kau merayu Putriku untuk menginjak tanah kota lagi. Sudah untung aku menolongmu, tetapi kau diberi hati malah meminta jantung!"

"Maafkan saya, Mebuki-san. Tapi saya pikir kalian sekarang cukup aman untuk pergi ke luar hutan."

"Memangnya kau bisa menjamin keselamatan Putriku? Memangnya kau bisa mencegah jika saja ada orang dengki yang pada akhirnya mengusik kembali Haruno?" Mebuki menatap sinis.

"Aku bahkan akan mengorbankan nyawaku untuk melindungi
Tayuya." Shisui berucap yakin.

Mebuki memejamkan matanya sejenak. "Bukan masalah kau yang mampu melindunginya, tapi pikiran licik yang lainnya. Aku tidak ingin mengambil resiko bahwa pada akhirnya klan Haruno kembali diketahui!"

Tayuya menggigit bibirnya untuk menahan genangan air mata yang siap menetes kapan saja. Perasaannya sakit ketika menyadari fakta bahwa mungkin selamanya takan pernah melihat dunia luar, namun di sisi lain ia tahu betul alasan mengapa ibunya melarang.

Sementara itu, Kizashi yang sejak tadi hanya menyaksikan dalam diam, tidak melewatkan bagaimana raut putrinya tersebut. Pria itu lantas menghela napas dan memegangi pundak sang istri.

"Biarkan dia sekali saja menginjak tanah kota," putusnya tiba-tiba, yang segera saja mendapat delikan dari Mebuki. Sedangkan Tayuya dan Shisui sama-sama mendongkak untuk menatap pria tua itu.

"Jangan gegabah. Kau pikir keputusan seperti itu hal yang sepele?!" Sentak Mebuki.

"Hanya sekali, dan aku akan menyuruh Sasori untuk menemaninya."

"Sudah cukup! Apa kau tidak khawatir pada putri kita?!" Mebuki semakin meninggikan suaranya.

Kizashi memejamkan matanya beberapa saat. "Jangan berkata seperti itu, aku hanya tidak ingin melihat Putriku terlihat sedih dan tersiksa ketika selalu terkurung di sini!"

Mebuki mendengus keras. "Lalu bagaimana dengan resikonya?!"

Tayuya mengepalkan tangannya. Gadis itu tak kuasa menahan linangan air mata yang mulai membasahi pipinya. Hanya karena keinginan konyolnya, kedua orang tuanya yang selalu harmonis itu berakhir dengan bertengkar.

"Ibu, Ayah, sudah hentikan. Aku janji tidak akan meminta keluar lagi, kalian tidak perlu bertengkar."

Kedua pasangan suami istri itu lantas menoleh dan seketika melebarkan mata saat melihat air mata putrinya berlinang.

"Aku permisi." Tayuya membungkuk sebelum kemudian pergi meninggalkan ketiga orang di ruangan tersebut. Meninggalkan kedua orang tuanya yang menatapnya penuh kesedihan.

Gadis itu berlari di setiap lorong-lorong yang ia lewati menuju kamar pribadinya, setelah menemukan pintu tinggi berpelitur cokelat, ia segera membuka dan menutup lalu menguncinya. Ranjang berukuran sedang itu menjadi pelarian untuk keluh kesahnya, ia menimbun air mata di atas bantal berwarna keemasan tersebut yang ia remas kuat-kuat.

Haruno tayuya tahu betul bahwa penyebab kesedihan ini bukan dari orang tuanya, atau bahkan untuk menyalahkan dirinya sendiri. Ia bersedih dan kecewa hanya untuk menangisi nasibnya yang mungkin akan selalu seperti demikian hingga akhir hayatnya. Sebab gadis itu tau, bahwa semua ini bukanlah salah orang tua atau bahkan peraturan di tanah Haruno, semua pengekangan yang sudah berlangsung seratus tahun lalu tersebut bukanlah atas dasar keegoisan salah satu pihak, namun demi melindungi setiap jiwa dalam klan. Dan semua peraturan itu seolah perlahan berubah menjadi sebuah takdir bagi Haruno, atau barangkali kutukan, kutukan selayaknya Haruno diharamkan untuk tidak menampakkan diri pada manusia lain di bumi ini.

THE MISSING QUEENWhere stories live. Discover now