᮱᮷. ᮜᮨᮙ᮪ᮘᮥᮁ ᮜᮛᮀ

332 177 136
                                        

•❅───✧❅ᮝᮤᮜᮥᮏᮨᮀ ᮙᮎ❅✧───❅•

Laila membuka mata perlahan—dan dunia di hadapannya bukan lagi ruang ritual, bukan lagi Bandung. Ia berdiri di tengah sebuah kerajaan Sunda tempo dulu yang seakan dicetak ulang dari mimpi buruk.

Segalanya dibangun megah, tapi berlumur aura merah yang tidak sehat. Dinding-dinding batu andesit dipahat dengan pola Sunda kuno: sulur-sulur kawung, motif mega mendung yang dipelintir jadi bengkok, dan ukiran wajah para dewa yang retak—seolah pernah disembah lalu dikhianati. Cahaya merah merembes dari celah-celah batu, seperti darah yang merayap keluar dari urat bumi.

Lantai lorongnya terbuat dari batu hitam yang licin, tapi setiap langkah Laila mengeluarkan gema aneh, lebih seperti napas panjang yang mendesah dari bawah permukaan. Udaranya hangat, seperti berada di dekat perapian raksasa yang tak terlihat.

Laila awalnya tetap duduk bersila, terpaku oleh suasana itu. Tapi naluri langsung menyeret tubuhnya untuk bangkit. Ia berusaha memfokuskan diri, menahan napas, lalu mulai berjalan pelan, menyelinap di antara pilar-pilar batu yang tinggi.

"Afra … kamu di mana?" bisiknya nyaris tanpa suara.

Di setiap tikungan, ia berharap melihat Afra, atau setidaknya tanda kehadirannya. Tapi lorong itu terasa seperti labirin yang sedang mengamati balik—diam, tapi penuh niat jahat.

Ketika ia berbelok di sebuah sudut, satu sosok tiba-tiba muncul begitu saja. Laila hampir berteriak.

"Hei!" Gazala berdiri di sana.

Namun, ia tampak tak seperti Gazala yang Laila kenal.

Pria itu memakai pakaian pelayan kerajaan Sunda kuno—versi yang kasar, penuh tekanan kasta. Bagian atas tubuhnya telanjang, kulitnya terlihat seperti dipoles abu, pucat tapi tidak mati. Dadanya hanya diselempangi kain tipis warna cokelat keemasan, dengan simpul besar di bahu kanan.

Bawahannya adalah celana pangsi hitam longgar, diikat dengan kain merah gelap yang tampak lusuh, dengan motif rereng yang sudah hampir hilang warnanya. Kakinya telanjang, dan gelang logam tipis melingkari pergelangan kaki—seperti tanda bahwa ia hanyalah pelayan istana.

Laila langsung menghampiri. "Aa kok bisa ada di sini?" tanya gadis itu dengan suara tercekat.

Gazala mendekat cepat, tanpa memberi ruang untuk kebingungan.
"Gak ada waktu lagi. Afra butuh bantuan lu sekarang!"

Nada suaranya serius, dan sedikit terburu-buru, seolah di sisi lain, memang ada 'sesuatu' yang mungkin tengah memburu keduanya. Tidak ada penjelasan. Hanya urgensi yang membuat Laila refleks mengikuti langkahnya.

Mereka menelusuri lorong-lorong batu yang semakin gelap. Di beberapa titik, obor merah menyala tanpa api—seperti cahaya daging yang berdenyut sendiri. Angin yang tidak memiliki asal berembus dari dalam dinding, membawa aroma tanah panas, bau besi, dan sedikit wangi dupa yang terbakar terlalu lama.

Di ujung sebuah lorong, Gazala berhenti. Ia menahan Laila dengan mengangkat satu tangan.

Dari celah pintu megah yang sedikit terbuka, Laila mengintip.
Ruangan itu besar, kosong, namun auranya menakutkan. Di tengahnya berdiri sebuah singgasana.

Singgasana Batara Lurang.

Dibangun dari batu hitam berkilat, bertatahkan emas yang warnanya pudar, seperti sempat terbakar api yang tidak mempan dimatikan. Ukirannya menunjukkan naga, wajah perempuan, dan simbol mata tertutup. Kain merah lusuh menjuntai dari sandaran, menggantung sampai lantai seperti darah yang tidak berhenti menetes.

Batara Lurang Where stories live. Discover now