⊳⊰ SATU ⊱⊲

Start from the beginning
                                    

"Please, tolong lo inget amal baik lo belum cukup buat masuk surga. Jangan gila," ucapan nya yang tajam malah mengundang tangis dari si perempuan.

Tangan besarnya mengusap lembut punggung kecil yang bergetar di pelukan nya, membiarkan pemilik punggung itu menangis sampai merasa lebih baik.

Kepala nya diletakkan di atas kepala perempuan yang hanya memiliki tinggi sebatas dada nya. Sangat mini.
Tangan nya juga tak berhenti mengusap usap punggung perempuan itu.

"Keluarin semuanya, setelah nya baru lo pikirin masa depan lo lagi."

Ia merilexkan tubuh ketika mendapat balasan pelukan dari si perempuan.

Bermenit menit mereka hanya diam dengan diiringi tangisan yang mulai mereda dengan sendirinya.

Meregangkan pelukan keduanya, si laki laki menatap tajam perempuan yang masih menunduk berusaha menghapus air mata.

"Udah? Masih mau bunuh diri?"

Gerakan perempuan itu terhenti masih dengan kepala menunduk. Perlahan kepala itu mengangguk membuat nya geram seketika.

"Goblok!"

Tubuh kecil itu terlihat tersentak membuat ia mengusap wajah frustasi.

Tangan nya memegang bahu kecil nan rapuh didepannya. "Lihat mata gue."

Belum ada tanggapan.

Setelah menggoyangkan sedikit bahu itu, si pemilik bahu akhirnya mendongakan kepala dan menatap nya. Tatapan sendu penuh luka dan lelah.

"Gue tanya, amal baik lo udah sebanyak apa sampe berani buat mati sebelum waktunya?" memang terkesan sinis namun ini caranya berbicara.

Perempuan itu tak menjawab malah hendak kembali menunduk namun lebih dulu ditahan nya dengan mengangkat dagu perempuan itu.

"Lo emang orang yang sama sekali gak gue kenal, tapi lo bisa cerita sama gue. Cerita apa yang bikin lo punya niat begini, kenapa?"

Mata di depan nya terlihat berkaca kaca hendak menangis, kepala tersebut juga menggeleng pelan.

"Gue Bumi, nama lo?" mungkin memang bukan waktunya untuk bertanya namun ia harus tahu.

"Fazura," dengar suara itu, lembut dan menenangkan walau sedikit serak dan bergetar.

Bumi menatap mata Fazura, ia merasakan tekanan dunia jatuh pada bahu nya. Seberat itu?

"Azura?" kepala itu menggeleng.

"Fa-Zura."

Bumi mengangguk.
"Oke, Azura. Mau duduk dulu?"

Kepala Fazura menggeleng lagi.
Telunjuknya menunjuk kearah sungai.
"Mau terjun."

Bumi memejamkan mata, mengambil nafas lalu menghembuskan nya kuat. Ya, ia kuat.

"Aku gak pantes hidup," Bumi membuka mata langsung menatap Fazura yang berani membuka suara.

"Kenapa lo berfikir begitu?"

Bumi melihat dengan jelas tangan Fazura mengepal dengan mata yang mulai berkaca kaca.

"Perempuan yang hamil karena zina sebelum menikah memang gak pantes hidup, kan?" Fazura malah mengajukan pertanyaan.

Bumi terkejut, matanya melirik perut Fazura yang biasa saja. Jadi... Perempuan ini hamil?

"Keluarga aku juga gak menerima aku lagi didalam sana, mereka ngusir aku. Aku tau aku emang salah jadi aku terima itu." air mata perempuan itu kembali mengalir namun langsung dihapus kasar oleh Fazura sendiri.

Bumi tak bicara, tetap mendengarkan dengan jantung nya berdetak.

"Dan ini," Fazura menunjuk sudut bibir perempuan itu yang terdapat darah kering. "Ini dari laki laki yang bikin hidup aku begini. Dia gak salah, kita... Emang melakukan nya bersama. Tapi apa pantas dia.."

Tiba tiba saja Fazura berjongkok memeluk lutut dan menyembunyikan wajah diantaranya. Perempuan itu tak kuat melanjutkan.

Bumi terkejut ikut berjongkok. Tangan nya memegang bahu Fazura yang lagi lagi bergetar. Kali ini tangisan Fazura sangat keras hingga perempuan itu sesenggukan susah bernafas.

"Hey.." Bumi mendekat lalu mendekap. Membiarkan Fazura kembali menangis meraung raung.

"Kenapa kamu narik aku? Tolong biarin aku mati, aku udah gak punya apa apa."

Bumi terdiam.

Tangan Fazura mencengkram jaket nya. "Lepasin aku, aku mau bebas dari ini semua." cengkraman tangan Fazura berganti menjadi pukulan kecil.

Bumi menangkap tangan Fazura dan menatap mata perempuan itu yang berair. Kulit putih itu bahkan berubah memerah karena menangis.

Jahat sekali yang melakukan ini.

"Lepas..." lirihan itu membuat Bumi ikut merasakan sakitnya.

Bumi tak melakukan pergerakan lain selain menatap Fazura sampai tangis Fazura perlahan terhenti.

"Jahat banget yang bikin lo kayak begini." Fazura menatapnya dengan sendu. Mata indah itu lebih cocok memancarkan keceriaan dan kebahagiaan, bukan tangisan tersedu hingga mata menyendu.

Tangan besar Bumi bergerak menghapus sisa air mata di pipi Fazura. Bibir nya bergerak membentuk senyum kecil untuk perempuan didepan nya.

"Ikut gue ketemu orang tua gue sekarang."

🌍🌍🌍

BUMI [Terbit]Where stories live. Discover now