2. Teh Tawar

66 18 0
                                    


Penyesalan merayapi benakku ketika membuka loker pagi ini. Kertas itu masih ada di sana, teronggok seperti sebelumnya kutinggalkan pada hari terakhir sekolah sebulan lalu.

Xaqila Kei Nathania punya nilai cukup sebagai persyaratan masuk universitas. Namun, ada ribuan siswa yang mendaftar dengan nilai lebih sempurna. Dibutuhkan lebih dari nilai sempurna untuk membuatnya bersinar diantara lainnya. Aktivitas di luar akademis lainnya akan sangat membantu menaikkan portofolio.

Tanganku mencengkeram permukaan besi lebih keras. Kata-kata di dalamnya menggema dalam pikiranku, hanya karena aku sudah menghafal seluruh isinya. Seharusnya aku enyahkan saja catatan dari konselor siswa itu pada kesempatan pertama. Setidaknya aku enggak perlu lagi terbayang-bayang apa katanya soal masa depanku.

"Jadi lo udah pikirin soal tadi malam?" Kehadiran tiba-tiba Zach berhasil mengusir pikiran itu.

Setelah ngorok dua jam di sampingku, Zach buru-buru pergi tanpa pamit sebelum matahari terbit dan tiba-tiba muncul lagi di depan loker dengan badan penuh keringat. Bagian depan kaus tim basketnya lekat mencetak dada bidangnya.

Cewek-cewek di sekitar kami sengaja memelankan langkah, demi mencuri pandang otot kekar Zach, terbuka dan mengilat karena peluh di sekujur tubuhnya. Di mata mereka itu kelihatan seksi, sedangkan buatku itu menjijikkan.

Seperti prediksi, enggak ada kabar lebih menggemparkan pada hari pertama sekolah SMA Pradipta Negeri selain berita putusnya Zach dan Raisa. Semua murid lebih tertarik gibah berjamaah soal status Zach kembali available ketimbang mendengarkan petuah kepala sekolah waktu upacara.

"Minggir! Lo bau."

"So? What do you say, Xaqila?" tanya Zach enggak menyerah dan malah melingkarkan tangannya di leherku.

Aku buru-buru memencet hidung dan berkelit. "Mendingan mandi daripada otak lo makin miring!"

"Gue serius soal tadi malam, La!"

"Gue juga serius soal otak lo sudah miring!" timpalku ketus. Aku mendesah dan mendekatinya untuk memelankan suara. "Lo kok tega sih minta gue pura-pura jadi pacar lo di depan Raisa?"

"Raisa nggak terima gue putusin."

"Dan solusi masuk akal menurut lo adalah membuatnya berpikir kalau lo selingkuh sama cewek lain," sambungku dingin.

Zach diam. Dia hanya menatapku dengan tatapan enggak berdosa dan itu membuatku makin kesal.

Aku sudah mendengar soal reputasi Raisa yang sangat posesif. Seharusnya Zach bisa mencari jalan lain. Bukannya malah menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya.

"Itu satu-satunya cara. Raisa nggak mau lepas dari gue," kilah Zach.

Dua orang cewek dari kelas sebelah menyapa Zach. Seperti biasanya, sahabatku yang banyak gaya itu berbaik hati melemparkan senyum balasan terbaiknya. Sampai beberapa meter ke depan, mata mereka enggak lepas dari Zach, dan aku berdoa supaya keduanya membentur tembok.

"Lo sadar nggak, sih?" aku semakin gemas. Kepalaku berputar ke sekitar, memastikan enggak ada yang mencuri dengar percakapan kami sebelum melanjutkan. "Dengan pacaran sama Raisa, lo sudah bohongin dia. Zach, itu jahat banget! Lo harusnya bisa cari alasan lain."

"Like what? Bilang yang sebenarnya kalau gue gay?" desis Zach.

Di saat bersamaan, Leah, tiba-tiba sudah berdiri di depan kami. Aku sontak meninju lengan Zach supaya cowok itu tutup mulut. Dari senyum genit Leah yang tetap terkembang, sepertinya dia tidak menangkap isi pembicaraan kami.

Gula - GulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang