[26] Regretful

30.6K 882 79
                                    

Flashback terakhir untuk sesi ini :)

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Flashback terakhir untuk sesi ini :)

***


Apa yang Vanya lakukan selalu menggemaskan. Wajah chubby dan baby face itu selalu membuat Jovan ingin menciumnya berulangkali. Belum termasuk ekspresi kekhawatiran, kaget, maupun ketakutan Vanya yang entah kenapa memberinya pecutan gairah.

Cewek polos seperti Vanya akan ia buat paham dan belajar berbagai aktivitas dewasa.

"Cium gue," ucap Jovan pelan. Vanya mengulur waktu terlalu banyak dan Jovan tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Vanya meneguk ludah. Dengan teramat canggung ia mendekatkan wajahnya. Pelan-pelan, ia satukan bibirnya dengan bibir Jovan. Ini jelas bukan ciuman pertamanya, karena cowok itu pernah menciumnya secara sepihak beberapa kali sebelum ini. Tapi ini pertama kali Vanya yang menjadi inisiator ciuman.

"Buka mulut lo dikit," bisik Jovan di sela ciuman mereka.

Vanya menurut.

Tanpa segan, Jovan menautkan lidahnya. Menuntut ciuman mereka untuk lebih dalam daripada ini. Begitu agresif membuat Vanya semakin kewalahan. Napas mereka terdengar memburu di sela tautan bibir.

Jovan mengecup singkat bibir Vanya sekali lagi sebelum melepas ciuman mereka. Vanya terlihat kehabisan napas. Ia rasanya ingin memeriksa apakah Vanya basah atau tidak, namun untuk kali ini ia akan menahan diri.

Cewek itu amatir dan begitu menggemaskan.

"Sejak temenan sama Reyna, lo udah pinter dandan ya?" ujar Jovan setelah menyadari ada rasa manis lain dari bibir Vanya. Pasti karena ada produk semacam liptint yang dipakai oleh Vanya.

Vanya hanya menjawab dengan gumaman pelan.

"Selama ke club bareng Reyna lo gak diajarin minum?" tanya Jovan lagi. Lebih mirip interview ketimbang obrolan biasa.

"Cuma mocktail," jawab Vanya singkat.

"Yaudah biar gue yang ajarin," Jovan kembali membalikkan tubuh Vanya dan menempatkannya di antara kedua kakinya.

Ia lalu menuangkan salah satu minuman berakohol ke dalam satu sloki. Ibu jari dan telunjuknya mencengkram kedua sisi pipi Vanya. Sebelum Vanya sempat mengeluarkan protes, sloki itu telah Jovan bawa ke depan mulutnya.

Vanya nyaris menangis saat meneguk minuman yang Jovan paksakan. Rasanya begitu aneh dan asing. Begitu ingin memuntahkan minuman itu, Jovan menutup mulut dan hidungnya. Mau tak mau, Vanya menelannya.

"Udah kak!!" ucap Vanya ketika Jovan masih memaksanya minum pada gelas ke-empat. Sisa alkohol itu tumpah dan menetes di dagunya.

Vanya lalu berpindah duduk ke samping Jovan. Ia berpegangan pada sofa karena merasakan hujaman rasa pusing menyerang kepalanya. Pandangannya terasa melayang dan perutnya mual.

A FIRST PERFECT [21+]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu