Bagian 28

229 27 12
                                    

Harusnya, besok adalah jadwal kepulangan Hanin. Namun, gadis itu memutuskan untuk menunda sehari lagi. Ia menghubungi Mamanya dengan alasan ia butuh tambahan waktu untuk menenangkan diri sehari saja.

Dengan berat hati, Mamanya mengerti. Pun, meminta Dafan agar menjaga Hanin lebih baik lagi. Hanin sendiri belum memberitahu insiden tadi siang. Ia tak mau membuat Mamanya cemas di sana.

Hanin sudah mengirimkan pesan juga kepada Dafan tentang penundaan kepulangan mereka ini. Dafan hanya menurut.

Hanin sudah dengan pakaian rapinya, hendak keluar kos. Lebih tepatnya mau ke kontrakan Dafan.

Ketika keluar kamar, terdapat para penghuni kos yang sedang berkumpul di ruang tamu. Hanin menyapa sekilas. Melewatinya begitu saja. Ketika Hanin membuka gerbang, Madya memanggilnya dari dalam.

"Mau ke mana?" tanya Madya.

"Mau ke kontrakan Mami yang ada di ujung sana."

"Oh, pasti jenguk temen kamu yang tadi siang jadi sasaran Nio?"

Hanin mengangguk membenarkan.

"Kamu kenal Nio?"

Madya memutar bola mata malas, mendengar pertanyaan Hanin.

"Siapa yang nggak kenal sama trouble maker di kampus?! Bahkan aku satu kelas sama dia!"

Hanin tak terlalu kaget mendengar ucapan Madya. Karena Hanin sudah tahu, bahwa Madya juga jurusan Biologi.

"Aku kenal Nio belum lama. Dan dia juga pernah nolong aku. Jadi, aku nggak tahu kalau dia bisa ngelakuin hal semacam itu."

"Tapi, kamu nggak papa, kan? Dia nggak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya Madya cemas.

Hanin mengangguk. Sakit yang ia terima dari Nio, tidak sebanding dengan luka yang ada di tubuh Dafan. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.

"Aku lihat Nio jemput kamu dari atas tadi. Tapi, aku ngerasa nggak ada hak buat cegah kamu untuk pergi. Maafin aku, ya. Kalau aja aku tadi—"

Hanin menggerakkan tangan cepat. "Ssttt. Bukan salah kamu kok, Madya. Justru aku yang berterima kasih, kamu udah kasih info ke Kak Dafan."

"—dan Adam," lanjut Madya.

Hanin terkekeh kecil. "Azam," ucap Hanin membenarkan.

Madya sendiri ikut geli, karena kesotoyannya menyebut nama orang yang tidak ia kenal. Setelah perbincangan singkat itu usai, Hanin segera meninggalkan kosan dengan berjalan kaki.

***

Setibanya di depan kontrakan cowok yang sepi itu, Hanin jadi dilanda rasa ragu. Apalagi, Hanin belum mengabari Dafan bahwa ia akan ke sini, sebelumnya.

Memantapkan hati, Hanin mulai mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Oka membukakan pintu. Mempersilakan Hanin masuk, tetapi ditolaknya. Di luar saja, kata Hanin.

Oka memanggilkan Dafan. Masih dengan tertatih-tatih, Dafan keluar menghampiri Hanin. Tampak terkejut karena Hanin ke sini sendirian.

"Ngapain ke sini? Sendirian pula!" tanya Dafan gemas bercampur khawatir.

"Jenguk lo. Lo begini kan gara-gara gue!" jawab Hanin masih menyalahkan diri sendiri.

"Lo masuk jebakan Nio kan karena bajingan itu mau balas dendam ke gue! Jadi akar masalahnya ada di gue!" sahut Dafan tak mau membuat Hanin makin merasa bersalah.

"Ya tapi kan, kalau gue nolak, hal semacam ini ga bakal terjadi!"

Ketika Dafan akan melayangkan argumennya lagi, Oka sudah lebih dulu menghentikan keduanya.

"Udah ngapa sih! Kek bocah aja lu berdua!"

"Lo belum makan kan, Nin?" tanya Dafan mengubah topik.

"Gampang nanti. Tadi gue liat ada warung kok di sana."

"Oka, beliin kita makan! Cepet!" titah Dafan seenak jidat.

Hanin buru-buru mencegah. Namun, Oka menepisnya.

"Baik, Tuan. Tuan dan Nona mau makan apa malam ini?" Oka bertingkah seperti pelayan raja dan ratu di istana.

Dafan menyebutkan pesanannya. Mie ayam. Hanin yang tak mau menyebutkan keinginannya, akhirnya disamakan dengan pesanan Dafan.

***

Tinggal lah Dafan dan Hanin di kontrakan yang sangat lengang itu. Hanin sendiri bingung, hendak membahas apa dengan Dafan, supaya kecanggungan ini musnah.

"Besok mau ke mana?" tanya Dafan membuka obrolan.

"Nggak ke mana-mana."

Dafan mendesah. Pikirannya belum bisa lepas dari insiden tadi.

"Bener?" tanya Dafan yang belum yakin.

"Iya. Gue akan kabari lo, kalo gue berubah pikiran."

Setidaknya, Dafan dapat bernapas lega sekarang.

"Udah punya keputusan langkah apa yang bakal lo ambil nantinya?"

"Tentang?" Hanin bertanya lebih jelas.

"Kuliah."

Gadis itu bergerak-gerak gelisah dalam duduknya. Pertanyaan ini belum siap untuk diangkat ke permukaan lagi. Masih belum ada keyakinan lain.

"Atau untuk memastikan, lo mau lihat-lihat kampus swasta yang ada di sini?" tawar Dafan memberikan opsi.

Hanin memikirkan tawaran itu sejenak. Namun, melihat kondisi Dafan yang untuk berjalan saja masih kesusahan, Hanin tak tega.

"Enggak usah. Gue memutuskan untuk istirahat bentar selama setahun. Gue akan coba SBM lagi tahun depan."

Bagai mendengar kilatan petir, Dafan berekasi berlebihan. Cowok itu bahkan terang-terangan menunjukkan keterkejutannya.

"Lo yakin seratus persen?" tanya Dafan lagi.

Hanin mengangguk mantap. Dirinya sudah memikirkan ini matang-matang. Terlalu banyak rasa sakit yang ia terima akhir-akhir ini. Jadi, untuk menerima rasa sakit lain, atau kemungkinan ditolak lagi, Hanin tak sanggup membayangkannya.

Masih belum hilang luka akibat ditolak SNMPTN. SBMPTN. Dikhianati Azam. Bahkan penculikan Nio kemarin. Terlalu beruntun.

Memang benar apa kata Dafan, ujian mandiri atau kampus swasta dapat menjadi pilihan. Namun, seberapa besar peluang untuknya diterima? Dan apakah hal tersebut dapat memberikan kepuasan pada diri Hanin? Tidak ada yang tahu pasti, kan?

Jadi, karena alasan-alasan itulah, Hanin memilih untuk istirahat sejenak dari berbagai masalah yang menghampirinya akhir-akhir ini. Sekaligus sebagai waktu untuk mempersiapkan diri lebih baik lagi, agar kejadian di tahun ini tidak terulang di tahun depan.

Selasa, 1 Maret 2022

❤️❤️❤️❤️

Wow! Udah ganti bulan aja!

Udah sejauh ini pula nulis rutinnya🥺

Terima kasih untuk yang sudah berkenan membaca hingga bab ini ❤️

Tunggu bab-bab berikutnya!❤️

Salam hangat,
IndAwsoka

Pada Orang yang Sama (TAMAT)Where stories live. Discover now