11. Kebebasan

392 79 16
                                    

Jangan lupa torehkan komentar kalian, aku suka bacanya😍😍

Malam ini lebih tenang dan hangat dari malam-malam sebelumnya. Perasaan takut yang sering menyelimuti rumah sudah sirna seutuhnya. Rumah yang biasanya menjadi tempat paling tidak nyaman, menjadi rumah yang membuatku betah berada di dalamnya.

Aku duduk di sofa. Biru menekuk satu kakinya di depanku. Kaki kananku lurus di atas paha Biru. Aku meringis merasakan sakit di telapak kakiku, bekas menginjak beling vas bunga yang aku lempar sebelumnya. Kapas, alkohol dan betadine sudah terkumpul di samping Biru.

"Alisa,"

Panggilan dari Biru membuat aku yang semula fokus memandang telapak kakiku beralih menatapnya. Biru tersenyum, tetapi matanya tidak berseri-seri seperti biasanya. Pasti Biru sedang menyembunyikan kesedihannya.

Apa kesedihan Biru datang karena aku?

"Alisa, ini bakal sakit. Jadi lo boleh teriak, nangis, atau lo boleh jenggut rambut gue," Biru memperingati sebelum ia membersihkan luka di telapak kakiku.

Aku menggeleng. "Gue nggak mau nyakitin lo. Gue akan menangis kencang kalau sakit."

Biru tersenyum dengan hembusan napas berat, kepalanya agak miring. Sorot matanya begitu teduh memandangku seolah bangga atas diriku.

Kemudian, perlahan Biru membersihkan telapak kakiku dengan alkohol dan kapas. Aku mengepal erat tanganku. Kali ini aku biarkan air mata membasahi pipi. Aku tidak mau sok kuat. Aku biarkan bibir meraung menjerit kesakitan. Biru tidak akan menghinaku, tidak akan menghakimi atau memaksaku berhenti menangis.

Biru begitu telaten mengobati telapak kakiku. Sesekali Biru melirik wajahku, ikut kesakitan melihat aku menangis. Tergambar jelas rasa bersalah dari ekspresi Biru, padahal bukan salahnya.

"Alisa, mau berhenti dulu obatinnya?" Biru tidak tega melihatku yang terus menangis kesakitan.

Aku menggigit bibir, menggelengkan kepala. Biru mengerti isyaratku. Diberikan aku senyuman termanisnya. Biru kembali mengobati kakiku perlahan.

Setelah selesai membersihkan dan mengobati, telapak kakiku diperban. Satu lagi kakiku dibersihkan, diobati dan diperban.

Kakiku diletakan di lantai perlahan. Lalu Biru duduk di sampingku. Menatapku yang masih menangis merasakan sakit yang luar biasa.

Tangan Biru mengelus lembut kepalaku. Terkekeh, melihatku yang masih tidak bisa berhenti menangis. "Anak hebat udah bisa nahan sakit. Alisa, hebat," Biru memujiku.

"Sakit," aku tidak berniat bersikap manja. Tetapi aku kelepasan mengutarakan apa yang aku rasa.

"Alisa, Alisa, semuanya akan baik-baik aja. Alisa, anak baik, anak hebat." Biru terus mengelus kepalaku.

Aku merasa seperti anak kecil yang sedang ditenangkan oleh Ayahnya.

"Biru, makasih ya." Ibu yang semula berada di dapur sudah kembali menenteng nampan. Meletakkannya di atas meja. Ada teh hangat untuk aku dan Biru, beserta cemilannya seperti kue bolu.

Ibu duduk di sofa depan aku dan Biru, yang terhalang meja di tengah.

Ibu menatap ramah Biru, tersenyum penuh syukur atas hadirnya Biru. "Untung ada kamu. Ibu nggak tau kalau nggak ada kamu..." Ibu menundukkan kepala, tangannya saling mengepal di atas paha. "Mungkin Ibu dan Alisa udah mati," tergambar jelas ketakutan dari mimik wajah Ibu.

Luka memar di wajah Ibu sudah diobati sendiri. Rambut yang sempat berantakan sudah terkuncir rapih.

"Makasih Biru udah dateng nyelamatin Ibu dan Alisa. Makasih banget." Tangan Ibu menekan dada, tubuhnya membungkuk dan air mata berjatuhan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 13, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pluto ProjectorWhere stories live. Discover now