5) Panti Asuhan

290 87 14
                                    

Aku rasa aku keterlaluan tentang perkataanku pada Ibu dan tentang pikiranku yang menilai buruk Ibu. Sumpah, aku hanya....hanya lepas kendali. Aku hanya tidak tahan menyembunyikan semuanya seorang diri. Aku ingin ditolong, aku ingin diselamatkan, aku ingin dibawa pergi. Namun tidak ada yang berdiri di sampingku, tidak ada yang membantuku. Jadi aku hanya meledak begitu saja dan semua perasaanku terhadap Ibu membusuk menjadi pikiran jahat di dalam kepala.

Mungkin aku harus meminta maaf pada Ibu. Bagaimana pun kehidupan Ibu juga Sulit dan penuh tekanan. Aku tidak pantas membandingkan penderitaan Ibu dengan penderitaanku. Namanya penderitaan tetap penderitaan,  tidak perduli bagaimana bentuk penderitaan tersebut.

Aku menunduk melihat jam melingkar di lengan kiri. Pukul setengah delapan malam. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum Biru menjemputku. Malam minggu ini Biru memang akan mengajak ku jalan. Tidak tau mau kemana. Biru tidak menjelaskan detail, aku juga tidak bertanya.

Aku mengenakan dress di bawah lutut bewarna hijau telor asin dengan lengan panjang. Rambut panjang aku ikat menyamping. Aku tidak bermaksud mempercantik diri untuk Biru. Aku hanya ingin terlihat rapih. Ya, pokoknya begitu. Aku tidak berharap Biru memujiku.

Aku berjalan keluar kamar. Sudah dengan tas yang menyelempang di pundakku. Aku mendengar suara air dan suara pisau yang bergesekan dengan klapon kayu. Ibu pasti memasak makan malam untuk orang itu yang akan pulang pada pukul setengah sembilan. Orang itu memang lebih suka makanan baru matang dibandingkan masakan yang sudah ada sejak pagi. Banyak mau. Dan Ibu mengabulkannya. Ah, pikiran burukku tentang Ibu muncul lagi.

Langkah kakiku terhenti di depan dapur. Aku lihat Ibu sedang memotong, mengaduk sop di atas kompor dan lalu bergegas mencuci piring. Sangat amat sibuk. Bukan berarti aku tidak membantunya. Tugasku mengepel, mencuci baju dan menggosok, sisanya tugas Ibu.

"Bu." panggilku yang buru-buru mendatangi Ibu. Aku ambil piring di tangan Ibu dan menggantikannya untuk mencuci piring.

"Alisa?" Ibu terkejut atas kehadiranku. Masih berdiri di sampingku dengan tangan yang penuh busa.

"Alisa aja yang cuci piringnya," kataku mempertegasnya.

Aku melirik Ibu diam-diam. Ibu menatap aku ibah, pandangannya tertuju pada pergelangan tanganku yang terlihat setelah aku menggulung dress bagian lengan. Dan aku tau apa yang sedang Ibu pikirkan.

"Alisa, Ibu--"

"Aku minta maaf, Bu," aku memotong pembicaraan Ibu yang belum selesai. Aku tau kemana arah pembicaraan Ibu.

"Alisa," Ibu memanggilku lembut dan penuh kesedihan. Mungkin sekarang bola matanya berkaca-kaca.

"Nggak sepantasnya aku ngomong kayak gitu ke Ibu. Aku minta maaf udah menyudutkan Ibu. Aku nggak marah sama Ibu, nggak benci. Aku cuma nggak bisa nerima keadaan. Aku kesal karena nggak bisa melakukan apapun." Tanpa sadar aku mencuci piring dengan kepala semakin tertunduk. Pandanganku ke arah piring-piring itu buram. Bukan karena air mata menggumpal di bola mataku. Lebih tepatnya karena aku melamun dan kehilangan fokus.

"Semua orang punya alasan. Aku punya alasan untuk benci orang itu. Dan Ibu punya alasan untuk bertahan di rumah ini. Aku nggak akan lagi membandingkan keadaanku dengan Ibu. Aku akan menghargai semua keputusan Ibu dan nggak akan pernah ninggalin Ibu. Bahkan kalau seandainya kita mati bareng-bareng di sini, aku tetap menerimanya," aku tersenyum lucu.

Apakah benar aku akan mati konyol bersama Ibu di rumah ini? Di tangan orang itu?

Ibu diam. Tidak merespon perkataanku sama sekali. Maka aku pun lanjut bicara,

"Aku nggak akan memaksa orang lain untuk menyelamatkan aku lagi, Bu. Percuma. Nggak perduli seberisik apa aku berteriak, sekeras apa aku menangis, separah apa luka-lukaku, nyatanya aku sendirian, Bu. Aku berdiri sendirian di depan cermin melihat diriku babak belur. Bukan salah Ibu atau salah yang lain karena nggak bisa menolong aku. Karena pada dasarnya yang bisa menyelamatkan aku hanya aku sendiri, Bu. Aku nggak marah karena nggak ada yang menyelamatkan. Aku hanya....." aku menarik napas, bibirku terbuka. Namun suaraku menghilang. Mataku perih dan buram. Jantungku berdenyut nyeri. Aku akan menangis. Tapi aku tidak ingin. Tidak di depan Ibu.

Pluto ProjectorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang