6) Pluto Projector

290 90 28
                                    

Jangan lupa votenya.

Ayok berkomentar pada bagian setiap paragraf.

Maaf khusus cerita ini aku gak menerima komen "next". Lebih baik kalian mengutarakan pendapat kalian, dibandingkan spam "next".

Sepulangnya kami dari panti asuhan, Biru tidak langsung mengantarkan aku pulang. Aku yang meminta Biru untuk jangan pulang dulu. Namun karena sudah malam, Biru memutuskan untuk duduk di bangku stasiun dekat rumahku saja. Kami duduk bersebelahan menghadap rel kereta. Sudah pukul sebelas malam ketika aku mengecek jam di ponsel.

"Gue cuma nggak mau ketemu orang itu," dari sebelumnya hanya terjadi keheningan, akhirnya aku bersuara. Karena merasa canggung, aku berbicara dengan kepala tertunduk menatap sepasang sepatuku di bawah.

Biru tidak merespon, hanya melirikku. Bahkan kemudian dia meminum hop-hop yang sebelum ke stasiun ia beli terlebih dulu. Aku juga dibelikan olehnya.

"Kayaknya gue bakal sering beli hop-hop dekat stasiun rumah lo deh. Enak banget. Beruntung juga abangnya tutup malem," ujar Biru, memandang kagum hop-hop.

Aku tersenyum melihat tingkah Biru yang seperti anak kecil. Aku meminum hop-hop milikku juga.

"Alisa, kapan pun, kalau lo merasa rumah nggak bisa lo jadiin sebagai kepulangan. Dateng ke stasiun ini. Duduk di sini, minum hop-hop. Dan kalau lo butuh teman, panggil gue. Gue pasti dateng." Biru tersenyum lebar.

Manis.

Aku memalingkan wajah, tidak bisa lama-lama menatap wajah Biru. Aku yang baru sadar atau memang sejak awal Biru memiliki senyuman yang sangat manis? Kenapa jantungku jadi berdebar tidak menentu? Aku merasa kaku menyadari Biru duduk di sampingku.

"Alisa?" Biru memanggilku. Mungkin heran melihat responku.

Aku yang tanpa sadar sepenuhnya membelakangi Biru, membenarkan posisi dudukku supaya menghadap depan lagi. Jangan sampai karena tingkahku yang aneh, Biru jadi berpikiran yang tidak-tidak.

"Makasih udah ngajak gue ke panti. Gue senang," aku tersenyum meski kaku. Sekarang aku jadi seperti Biru yang berbicara loncat-loncat. Tapi aku melakukan ini supaya bisa menenangkan debar jantungku.

"Nenek gue yang pertama kali kenalin gue ke panti."

Aku mengernyitkan kening, rasa penasaranku memuncak. Terlebih lagi, bisa dibilang ini pertama kalinya Biru membahas tentang kehidupannya. "Nenek lo?" tanyaku ragu.

"Waktu umur gue 5 tahun, nenek gue ngajak gue ke panti. Nenek gue penyumbang tetap panti. Bahkan ide buat ngadain pertemuan sesama penyumbang yang bertajuk drama panggung adalah ide nenek gue. Dan semenjak nenek gue meninggal, gue yang gantiin," Biru bercerita dengan perasaan bangga terhadap Neneknya. Pasti Nenek Biru adalah orang yang sangat berpengaruh di kehidupan Biru.

Biru menghela napas. "Untung aja nyokap bokap gue kaya. Perihal uang mereka royal. Jadi gue bisa nerusin kegiatan nenek sebagai penyumbang," Biru menaikan satu alisnya. Kali ini dia menyombongkan dirinya sebagai anak orang kaya.

Untuk beberapa saat aku jengkel mendengar kesombongan Biru. Namun ketika aku mengingat lagi wajah-wajah anak panti, perasaanku berubah hangat dan tanpa sadar aku tersenyum. Mereka, anak-anak panti sangat lucu. Aku menyukai mereka semua. Aku harap aku bisa sering bertemu dengan mereka nantinya. Semoga.

"Gue suka sama anak panti. Mereka lucu-lucu," aku tersenyum membayangkan mereka.

"Iya, iya, semuanya lucu. Semuanya anak kesayangan gue," Biru melipat kedua tangannya, memasang wajah layaknya seorang ayah yang bangga kepada perkembangan anaknya.

Pluto ProjectorWhere stories live. Discover now