10. Tanah Lada

284 67 15
                                    

Jangan lupa vote komennya. Aku suka bacain komen kalian. Kayak penyemangat buat aku😍👍❤️

"Kenapa mereka, orang-orang dewasa itu nggak sadar kalau Ava dan Prince terluka?" aku bertanya.

"Soalnya Ava dan P anak kecil," Biru yang bagian menjawab. "Orang dewasa menganggap yang bisa merasa terluka, menderita dan depresi adalah orang dewasa kayak mereka. Menganggap kalau anak kecil belum ngerti apa-apa. Anak kecil dari sudut pandang orang dewasa hanya tau tentang bermain, bercanda, makan, tidur, sekolah dan menangis untuk hal-hal kecil."

Aku tersenyum, sengaja mendongakkan wajah supaya terkena sinar matahari yang terik di jam tiga sore. "Waktu kecil gue juga kayak gitu."

"Kayak Ava?"

Aku menggeleng. "Kayak yang dilihat kebanyakan orang dewasa." Aku menoleh. "Bahagia banget. Diperhatiin orang tua, disayang orang tua, dimanja, main, bercanda. Pokoknya bahagia banget. Makanya pas beranjak remaja dikasih tamparan sama semesta langsung kaget. Nggak nyangka ternyata selain bahagia, ada yang namanya kesedihan dan kehancuran. Nggak nyangka kalau manusia bisa berubah sewaktu-waktu."

Sangat ironis mengingat perubahan manusia yang sangat drastis dan tidak disangka. Tetapi itu juga sebagai bentuk pembelajaran jika karena manusia berubah, maka tidak boleh berharap selalu sama.

Sebagai makhluk sosial, kita memang dianjurkan berinteraksi dengan manusia lain, meminta tolong dan menolong adalah suatu kaitan yang tidak terpisahkan dalam hubungan antar manusia. Memberi harapan dan berharap pun menjadi salah satu ciri khas manusia.

Tetapi, sekali lagi kita disadarkan oleh kenyataan pahit bahwasanya akan datang suatu masa dimana ternyata sekalipun banyak manusia di muka bumi ini, kamu hanya berdiri sendiri menghadapi segala macam rasa sakit dan penderitaan. Manusia di sekitar kamu tidak bisa menolong. Atau mungkin mereka lah yang menjadi penyebab rasa sakit kamu.

Aku cukup paham dengan teori seperti itu. Aku pernah bodoh berharap pada manusia dan akhirnya aku hancur oleh harapan itu sendiri. Aku berdiri di tengah keramaian. Aku bungkam pada rasa sakit bukan karena enggan untuk menyuarakan. Melainkan karena suaraku tidak pernah mereka tanggapi.

Kala itu aku benar-benar menyerah untuk berharap pada manusia.

"Kalau lo, ada di posisi mana? Anak kecil yang normal atau Prince?" giliran aku yang bertanya.

Biru terdiam. Entah karena sedang berpikir, atau sedang mengamati wajahku. Barang kali ada sesuatu yang menarik di wajahku. Semoga bukan hal yang memalukan.

Biru memalingkan wajah tidak lagi menatapku. Dia memilih menatap beton tembok pembatas rooftop di depan sana. Aku menangkap seutas senyum kecil di bibirnya.

"Alisa, anak kecil nggak pernah mengerti kalau mereka lagi hancur. Orang dewasa belum mengajari mereka tentang nama-nama emosi yang ada pada manusia, belum mengajari kondisi atau keadaan yang dialami manusia. Orang dewasa hanya mengajari anak kecil caranya ngomong, berjalan, makan dan membaca."

Aku tertegun mendengar penuturan Biru. Dari pada takjub oleh jawabannya. Aku lebih merasa sedih. Sedih seandainya itu yang memang terjadi pada anak kecil.

Mereka, anak kecil, merasakan penderitaan dan kehancuran, tetapi mereka tidak tahu apa yang sedang mereka rasakan tersebut. Mereka memang tidak tahu dan tidak mengerti dengan nama penderitaan dan kehancuran. Tetapi mereka tetap mengalami perubahan setelah merasakannya. Dan karena mereka tidak tahu, mereka jadi tidak bisa mengobati.

Sama halnya dengan seseorang yang sakit demam, tapi tidak tahu sedang demam. Jadi tidak datang ke dokter untuk berobat. Hanya didiamkan yang membuatnya semakin parah. Atau sampai akhirnya kematian menjadi akhir mereka.

Pluto ProjectorWhere stories live. Discover now