9. Bagaimana Jika....

239 61 11
                                    

Aku merapatkan sweater rajut bewarna cokelat yang Terbalut di tubuhku supaya menghangatkan dari dinginnya angin pagi. Meski masih mengantuk, aku paksa kedua mataku terbuka. Walau terkadang kelopaknya sayup terbuai sejuk hampir menutup. Dan ketika sudah begitu, maka buru-buru aku mengerjap memaksa otak untuk tetap bekerja. Langkah yang malas masih berkelanjutan membawaku menuju kelas.

Setiap pagi, aku selalu dateng tiga puluh menit sebelum masuk. Ya, aku tau, aku memang yang orang-orang bilang sebagai anak rajin. Meski nyatanya aku hanya malas berlama-lama di rumah. Malas jika melihat orang itu atau melihat kegaduhan yang orang itu buat. Meski artinya aku harus meninggalkan Ibu dengan dukanya.

Aku menoleh ketika mendengar sebuah suara. Dua orang siswi sedang mengobrol di belakangku, tidak terlalu jauh dari jarak aku melangkah. Keduanya begitu heboh sampai tertawa lepas. Mereka sama, mengenakan sweater untuk menghangatkan tubuh.

Bisa terhitung jari berapa murid yang kini sama-sama melangkah denganku di sekitar sekolah menuju kelas. Di depanku ada siswa laki-laki menggendong gitar di belakang punggungnya, melangkah seorang diri. Di sampingku dengan jarak tujuh langkah kaki seorang siswi melangkah seorang diri dengan headset menyumpel di kedua telinganya, tidak acuh pada sekitar. Di belakangku agak jauh terdapat beberapa siswa laki-laki yang melangkah beriringan dalam diam, mungkin menahan kantuk yang masih menggerayangi. Aku tidak tau pasti berapa jumlah mereka, karena aku hanya menoleh sekilas.

Mengakhiri analisa tentang murid-murid yang sudah datang ke sekolah, aku menghela napas. Kembali memfokuskan pikiranku pada hal lain. Sekolah yang luas membuat aku merasa jengkel ketika merasa begitu lama sampai ke kelas. Namun setidaknya sekarang aku tidak lagi berjalan di jalan setapak bewarna kelabu yang tidak rata, melainkan sudah menginjakkan kaki di koridor sekolah dengan keramik putih sebagai pijakan kaki.

Aku menoleh ke arah mading yang sedang dikerubungi beberapa murid. Sepertinya ada pengumuman penting yang membuat mading begitu menyenangkan untuk dipandang. Ah, aku baru ingat sesuatu. Beberapa ekskul sedang mengadakan lomba antar sekolah. Mungkin karena di mading ada informasi tentang jadwal lomba atau siapa saja yang jadi peran utama dalam perlombaan tersebut makanya jadi ramai. Setelah puas memperhatikan murid-murid yang heboh di depan mading, aku kembali menatap lurus ke depan. Menaiki anak tangga satu persatu.

Aku agak tersentak ketika dua siswa laki-laki berlari mendahuluiku seraya tertawa heboh, bahkan hampir menabrak diriku. Hampir, setidaknya belum kejadian dan hal itu tidak membuat kedua siswa itu perlu meminta maaf sekalipun perilaku mereka membuat aku yang melamun hampir jantungan. Gara-gara mereka, sejenak aku bersandar pada tembok tangga, menenangkan jantung yang hampir copot.

Aku menelan ludah merasakan tenggorakan teramat kering, kembali melanjutkan langkah mendaki setiap anak tangga. Kakiku terasa lelah menaiki anak tangga untuk menuju lantai empat. Rasanya aku ingin cepat-cepat naik kelas sebelas supaya setidaknya aku tidak perlu menaiki anak tangga terlalu banyak, sebab kelas sebelas berada di lantai tiga. Aku juga tidak sabar naik kelas dua belas, yang setidaknya aku hanya akan naik tangga sampai lantai dua.

Dengan napas berantakan aku menyisir rambut panjang tergerai ke belakang. Aku sudah sampai di lantai empat. Berjalan melewati kelas-kelas sepuluh yang lain. Dari luar terdengar suara gaduh dari dalam setiap kelas. Hanya satu dua murid yang berada di luar kelas, berdiri di balkon. Aku menunduk, memperhatikan bagaimana kedua kaki melangkah lambat lantaran dibebani lelah.

Pandangan yang semula tertuju ke arah keramik-keramik putih yang bersih beralih lurus ke arah tembok samping pintu kelasku. Langkahku perlahan melambat. Biru sedang berdiri, bersandar pada tembok samping pintu kelasku. Cowok itu menunduk hanya fokus pada ponselnya. Tidak memperdulikan sekitar.

Biru... jika sedang diam seperti itu layaknya dua orang yang berbeda dengan Biru yang biasanya. Biru yang sedang diam melamun seperti itu tidak memiliki ekspresi apapun di wajahnya, sorot matanya pun redup. Seperti seseorang yang tidak punya apa-apa, tidak punya tujuan dan hanya menunggu semuanya berakhir. Juga, auranya ikut berubah menjadi sangat dingin. Saking dinginnya membuatku ketakutan akan ikut membeku.

Pluto ProjectorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang