“Jadi, kalian sungguh-sungguh akan ke luar negeri?” Brian menatap Vincent dan Jovanka bergantian. Ada rasa tidak rela melepas dua orang yang dicintainya sekaligus.

Vincent mengangguk mantap. “Iya. Aku dan Jovanka sudah merundingkan ini semalam. Aku akan membawa mereka ke luar negeri mencari tempat yang aman untuk berlindung. Juga untuk memulai hidup baru. Melepaskan mereka dari masalah-masalah yang berat. Jo dan Vio patut bahagia, Bri. Dan aku, sebagai orang yang membuat mereka kesusahan, akan mengembalikan kebahagiaan yang seharusnya ada. Semoga kamu paham akan hal ini. Aku juga minta maaf kepadamu, Bri.”

Brian mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Matanya memanas. Pandangannya pun jadi memburam. Ia menahan sesak karena telah kalah oleh keadaan. Ia kalah oleh Vincent yang bisa mendapatkan keduanya. Namun, ia juga sadar mau sekuat apa pun menggenggam Jovanka, kalau perempuan itu tidak bisa menyeimbanginya juga akan percuma.

“Boleh aku ngelonin Violetta?” Suara Brian tertahan, terdengar begitu menyakitkan. Saat air matanya berhasil lolos dari pertahanan, ia mengusapnya gusar.

Hal itu tidak lepas dari pandangan Jovanka. Ia ikut meluruhkan air mata, tidak tega melihat Brian.

“Boleh, Bri. Vio anak kita berdua. Kamu masih bisa menganggapnya anak, meskipun Vio memang anak kandungku. Aku tidak akan melarangmu untuk menyayangi Vio. Aku justru berterima kasih banyak kepadamu, karena kamu mau menjadi ayah pengganti selama aku tidak ada,” ucap Vincent penuh pengertian.

Brian pun langsung beranjak. Ia melangkah menuju ranjang pasien dan menurunkan side rail agar memudahkan dirinya naik ke ranjang. Setelah membaringkan tubuh, ia merengkuh tubuh Violetta dan meluruhkan kesedihannya. Ia menangis tersedu di sana.

Sementara itu, Violetta terbangun saat sadar ada tangan yang merengkuh tubuhnya.

“Papa pasti akan sangat merindukan Vio nanti. Yang harus Vio tahu, Papa Brian sangat sayang sama Vio,” ucap Brian di sela tangisnya. Ia memejamkan mata sembari mengecup kening gadis kecilnya, yang sudah mewarnai hidupnya selama bertahun-tahun ini.

“Papa Brian nangis?”

“Vio harus sembuh, ya, Sayang. Papa akan menunggu kepulangan Vio. Papa sayang sama Vio.”

“Vio juga sayang sama Papa Brian.”

“Vio tidak boleh lupa sama Papa kalau sudah di tempat baru, ya.”

“Memangnya Vio mau ke mana, Papa Brian?” Gadis kecil itu bertanya sangat lugu.

“Vio akan berobat ke luar negeri sama Papa Vincent dan Mama. Papa Brian tidak bisa ikut karena harus bekerja di sini, Sayang.”

Violetta mengangguk paham. “Papa Brian jangan sedih, ya. Nanti Vio sama Papa Brian menikah biar bisa tinggal serumah. Kata Papa Vincent, harus menikah dulu biar bisa tinggal serumah.” Dengan polosnya, ia berkata.

Brian yang awalnya sedih, jadi tergelak mendengar penuturan Violetta. Ia mengurai pelukan, lalu bertanya, “Papa Vincent yang bilang seperti itu?”

Violetta mengangguk. “Iya. Papa mau menikah sama Mama biar bisa hidup serumah. Nanti Vio menikah sama Papa Brian biar bisa hidup serumah.”

“Astagaaa, kenapa anakku punya pikiran seperti itu? Vincent, kamu tuh, yang mengajari Vio gak bener.” Jovanka berseru kesal sambil mengusap jejak air matanya.

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now