Part 26

653 138 15
                                    

Dalam keheningan di tengah malam, Vincent dan Jovanka masih terjaga. Keduanya duduk di sofa, dengan Jovanka yang direngkuh Vincent dari samping. Ia merebahkan kepala ke dada bidang lelaki itu, sedangkan kedua tangan memeluk kakinya yang ditekuk di sofa. Mereka masih terisak satu sama lain, menangisi kisah pilu masa lalu setelah Vincent mengulang cerita dari Ely. Sontak Jovanka kembali bersedih.

“Sampai saat ini Bunda belum memberiku maaf. Dia masih marah besar denganku. Aku tahu ... aku salah telah melanggar aturannya, Vincent.” Air mata Jovanka bercucuran, mengalir melewati pangkal hidung dan menggantung di sana, lalu menetes membasahi kemeja Vincent. “Dulu, setelah melahirkan, aku pernah datang ke panti untuk menemui Bunda. Berniat meminta maaf, tapi ... aku diusir sama Fiona dan Leoni. Mereka juga masih sangat kecewa denganku,” lanjutnya sembari menahan sesak di dada. Napasnya tersengal-sengal.

“Awal aku tahu, aku hamil. Aku sudah ketakutan, Vincent. Kenapa sebelum kita melakukan, aku tidak memikirkan konsekuensi akhir yang akan terjadi setelahnya? Aku memang sebodoh itu terlena oleh keadaan yang kita ciptakan.” Jovanka berucap lagi.

Vincent menggeleng. “Aku minta maaf, Jo. Kalau bukan aku yang mengawali, pasti tidak akan terjadi hal seperti itu.” Kemudian, ia mengatupkan bibir rapat-rapat sampai membentuk garis lurus. Ia juga semakin mengeratkan rengkuhannya.

“Kita sama-sama salah di sini.” Jovanka terdiam sejenak, lantas melanjutkan, “Dan baru aku sadari setelah tahu aku hamil, perempuanlah yang paling dirugikan lebih banyak. Kehormatan terenggut, menanggung malu seumur hidup, kehilangan keluarga, dan yang lebih parah anak pun ikut menanggung malu.” Suaranya terdengar tertahan. Dadanya semakin sesak teringat gadis kecilnya.

Sementara itu, Vincent termenung. Rasa bersalahnya kepada Jovanka dan Violetta makin bertambah berkali-kali lipat. Mereka berdua tidak pantas mendapatkan penderitaan, apalagi tekanan batin yang teramat berat. Namun, karena dirinya, keduanya harus merasakan itu selama bertahun-tahun. Sungguh, Vincent sangat marah terhadap dirinya sendiri.

“Aku pribadi bisa menggenggam rasa sakit hatiku seorang diri, aku bisa menahannya. Tapi, kalau sudah menyangkut Vio, berat sekali. Aku tidak tega. Dan aku sangat rapuh di situ.” Jovanka terisak lagi. Mengobrol dari hati ke hati bersama Vincent tentang masa lalunya, sebenarnya sangat berat. Akan tetapi, mungkin memang sudah waktunya untuk lelaki itu tahu semuanya.

Mendengarnya, Vincent menahan napas. Yang dikatakan Jovanka benar adanya. Hanya karena nafsu sesaat, ternyata berhasil menghancurkan kehidupan secepat kilat. Memorak-porandakan hati menjadi serpihan kecil dan sulit untuk dinormalkan kembali. Lalu, belati tajam yang sudah telanjur menancap begitu dalam, juga meninggalkan luka yang tak ada obat penawarnya. Entahlah, ia benar-benar tidak sanggup membayangkan seperti apa kehancuran Jovanka waktu lalu.

“Benar yang kamu katakan, Jo. Aku lelaki pengecut dan sangat berengsek. Seharusnya aku bisa kembali ke Indonesia tepat waktu dulu, dan kita bisa menikah secepatnya. Tapi ....” Vincent menggantungkan ucapan, rasanya tak sanggup untuk melanjutkan. Seandainya ia bisa menghindar dari takdir kecelakaan yang menimpanya, tentu tidak ada orang-orang yang akan terlukai hatinya, termasuk Emberlyn. Semua akan berjalan normal seperti sebelumnya, dan ia sudah hidup bahagia dengan Jovanka serta Violetta.

“Nasi sudah menjadi bubur. Percuma jika kita menyesali kejadian pahit yang sudah terlanjur terjadi. Mungkin, memang ini garis hidup yang sudah Tuhan takdirkan untuk kita. Memberi banyak cobaan berat dan ingin melihat seberapa kuatnya mental kita saat menghadapi.”

Vincent mengangguk setuju. “Ini yang membuatku jatuh cinta kepadamu, Jo. Kamu selalu berpikir positif meski terlalu banyak penderitaan yang kamu alami. Dan aku akan menjadi pria paling bodoh jika tidak memperjuangkanmu kembali. Karena wanita sepertimu, memang patut diperjuangkan.”

OBVIOUSLY PAIN Место, где живут истории. Откройте их для себя