Part 9

629 130 5
                                    

"Dokter," panggil Jovanka setelah sambungan telepon tersambung. Suaranya terdengar serak. Ia masih terisak duduk di lantai samping meja kasir, dengan sebelah tangan menempelkan ponsel ke telinga.

"Jovanka, kamu kenapa? Ada apa? Kenapa kamu nangis?" Dokter Laluna memberondong pertanyaan, terdengar cemas suaranya.

Sementara Jovanka semakin tergugu. "Aku tidak kuat, Dok. Sakit sekali rasanya."

Ia mencengkeram dadanya yang berdenyut nyeri, rasanya bagai diiris-iris dengan sebilah pisau tajam tapi tak berdarah. Lalu, ia menggigit bibir bawahnya menahan isakan yang akan keluar keras dari mulutnya. Membenamkan kepala di antara lutut yang menekuk, pikiran Jovanka semakin tak karuan.

"Jangan membuatku panik, Jo. Kamu kenapa? Kenapa bicara seperti itu?"

Jovanka terdiam. Hanya suara tangis yang keluar dengan tubuhnya yang bergetar hebat.

"Kamu di mana sekarang?" Di seberang sana, masih berada di rumahnya, Dokter Laluna semakin panik.

"Di ruko." Jovanka menjawab singkat, masih tergugu. "Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang, Dok. Sakit sekali rasanya."

"Jangan ke mana-mana dan jangan berbuat apa-apa. Aku datang ke rukomu sekarang."

Panggilan telepon diputus sepihak. Jovanka semakin membenamkan kepalanya. Teringat ucapan Leoni tentang Vincent, membuat ketakutan dirinya semakin menjadi.

"Apa Vincent memang sengaja untuk menjauhiku? Apa dia tahu kalau akhirnya aku akan hamil anaknya, dan pergi ke Kanada sebagai alasan saja agar tidak bertanggung jawab atas ini semua?"

"Nyatanya dia lost contact denganku. Dia tidak pernah mengabariku sama sekali sampai sekarang. Apa dia memang sengaja?!"

"Aaargh! Kenapa aku bodoh sekali, Tuhaan?! Kenapa aku terlalu gampangan untuk menyerahkan tubuhku kepada diaa?! Sekarang hidupku hancur karena kebodohanku." Jovanka menjerit, meraung, mengoceh tidak jelas, dan ia benci kepada Vincent kenapa tidak pernah memberinya kabar sama sekali. Ia butuh lelaki itu, tetapi ia dicampakkan bagai sampah. Dibuang setelah dipakai, dan tak dipandang setelah kotor.

Jovanka memukul-mukul kepalanya sangat keras. Ia benci hidup. Ia benci bernapas sekarang. Ia benci semuanya.

"Aku tidak sanggup membangun pondasi sendiri jika orang terdekatku saja sudah merobohkannya. Aku benar-benar tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang, Tuhan. Ternyata aku tidak sekuat itu. Aku lemah. Aku sangat payah." Terus mengoceh tidak jelas dengan sisa tenaga yang ada, Jovanka terjatuh pingsan setelahnya. Ia terkulai lemas di lantai dengan ponsel masih dalam genggaman.

***

Jovanka mengerjap. Ia mencium aroma minyak kayu putih begitu menyengat di indra penciumannya. Mengitari pandangannya ke sekitar, ia tersadar jika sekarang sudah berada di kamarnya. Ia juga mendapati Dokter Laluna dan Brian sudah berada di sampingnya. Teringat sesuatu, Jovanka beranjak. Namun, gerakannya terhenti saat merasakan kepalanya begitu berat dan pusing, membuat ia terbaring kembali.

"Jo, jangan bangun dulu. Kamu harus banyak istirahat sekarang." Dokter Laluna berucap penuh perhatian, tetapi raut wajahnya tampak khawatir menatap wajah pucat Jovanka.

"Dokter." Bibir Jovanka bergetar menahan tangis, tetapi air mata berhasil lolos menyusuri pelipisnya. "Semua orang sudah tahu. Leoni dan Fiona sudah tahu. Mereka membeciku, Dok, sangat. Mereka menuduhku yang tidak-tidak. Mereka juga bilang akan memberitahu Bunda."

Tidak dapat menahan tangis, Jovanka tergugu. Ia bahkan mengabaikan Brian yang berdiri diam menatap dirinya. Sudah tidak memikirkan lagi, seperti apa reaksi lelaki itu nanti setelah tahu.

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now