Part 5

917 159 6
                                    

Selesai membersihkan diri di toilet pencucian mobil serta ganti celana jins yang dibelikan Benny, Jovanka menatap penampilan dirinya dari pantulan cermin wastafel. Wajahnya begitu pucat pasi tampak lesu, matanya masih sembab, lalu bibirnya putih bak mayat. Yaaa, ia terlihat begitu menyedihkan saat ini.

Seakan-akan, nasib baik sangat enggan untuk menyapa. Bahkan, kehadiran dirinya di dunia pun sangat tidak diharapkan oleh orang tuanya. Dibuang sewaktu masih bayi. Dipungut jadi anak panti. Ditinggal Brian yang sudah ia anggap sebagai pahlawan pelindungnya. Lalu, sekarang Vincent pergi tanpa memberinya kabar yang meninggalkan jejak dalam dirinya.

"Kenapa orang-orang yang aku sayang pergi satu per satu? Mereka seperti melemparku ke dasar lautan yang paling dalam dan tidak ingin tahu bagaimana kabarku lagi. Orang tuaku, Brian, dan Vincent. Kenapa mereka setega itu?" bergumam sambil menunduk, Jovanka menangis lagi. Tangannya yang bertengger di pinggiran wastafel, menyengkeram kuat.

Seharusnya ia tidak perlu berpikir berlebihan tentang Vincent. Bisa jadi lelaki itu memang belum punya waktu untuk mengabari dirinya. Ia juga masih memiliki harapan sampai lelaki itu pulang. Namun, dalam lubuk hati Jovanka, ia merasakan seperti tidak akan bertemu Vincent lagi. Sangat sakit jika mengingat itu. Ia takut, jika yang ia bayangkan akan menjadi kenyataan. Lalu, bagaimana dengan nasib anaknya?

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang di luar sana yang akan memandangnya hina. Teringat obrolan ibu-ibu waktu di taman, Jovanka semakin ketar-ketir. Lalu ancaman dari mamanya Vincent yang akan berefek pada panti asuhan, bundanya pasti akan sangat marah jika tahu dirinya hamil anak Vincent--apalagi belum menikah.

Merosotkan tubuh dan bersandar pada dinding, Jovanka menekuk kaki lalu menenggelamkan kepala di antara lututnya. Ia menangis tergugu sampai tubuhnya bergetar. Sungguh, saat ini bayangan-bayangan negatif terus berterbangan di atas kepalanya, membuat ia semakin pusing.

"Mbak Jo. Kamu sudah selesai? Mobil yang menjemput kita sudah datang, nih."

Mendengar ketukan pintu dan orang berbicara dengan dirinya, Jovanka mengangkat kepala. Ia mengusap pipinya dengan kasar, lalu berseru, "Iya, aku cuci muka dulu, ya."

Masih terisak, Jovanka berdiri. Membasuh wajahnya, merapikan tatapan rambut, lalu menetralkan pernapasannya yang masih agak tersendat-sendat.

"Jangan terlihat menyedihkan, Jo." Ia berusaha menarik senyum paksanya. Setelah merasakan keadaannya lebih membaik dan keluar dari toilet, ia mendapati Ridwan berdiri di sana.

"Ayo." Jovanka mengembangkan senyum sambil mengangguk, lantas melangkah mendahului lelaki itu.

"Mbak Jo masih pusing dan mual? Nanti di pantai kita panas-panasan, loh. Masih kuat?" Ridwan menatap khawatir perempuan itu. Ia tahu jika Jovanka baru menangis karena matanya masih memerah segar.

"Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, cuma masuk angin biasa, kok. Mungkin efek sering begadang juga. Akhir-akhir ini pesanan buket lagi melonjak soalnya," kilah Jovanka, mencoba meyakinkan lelaki itu.

"Kalau makin pusing nanti bilang ke kami saja ya, Mbak." Ridwan sudah berdiri di samping Jovanka. Menatap perempuan dengan rambut panjangnya yang digerai, tapi tampak sayu auranya.

Sementara Jovanka hanya memberi anggukan pelan. Dalam hati ia berusaha keras agar terlihat baik-baik saja. Menyimpan kesedihannya rapat-rapat dan ia tidak ingin ada orang lain tahu.

Sampainya di parkiran mereka langsung masuk ke mobil. Sekarang Benny yang menyetir dan Ridwan duduk di belakang bersama Jovanka. Bagai orang yang sudah berteman lama, dua pemuda itu begitu protektif kepada Jovanka. Mereka sudah menyediakan plastik dan minyak kayu putih yang dibeli di apotek tadi.

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now