Part 22

701 157 12
                                    

"Demam Vio tinggi lagi, Bi. Aku juga sudah mengecek tensi darahnya, sangat rendah. Aku takut." Berucap gelisah kepada orang di seberang sana, Jovanka mondar-mandir di samping ranjang sambil menggigit bibir bawahnya.

"Sudah kasih minum obat yang diberi Dokter?"

"Sudah, Bi. Tapi, belum turun juga." Perempuan itu menjawab sambil menatap sedih Violetta yang tertidur anteng.

"Jangan panik. Aku ke sana sekarang."

"Iya, Bi." Jovanka mengangguk, setelahnya memutuskan sambungan telepon. Merangkak ke kasur, ia membaringkan tubuh di samping gadis kecil itu. Kemudian, mengangkat tangan untuk mengecek kening Violetta. Masih terasa panas menyengat di punggung tangannya.

"Vio, maafin Mama, Nak. Bukannya Mama jahat melarang, Vio, bertemu Om Vincent. Tapi, ini demi kebaikan kamu, Sayang." Mata Jovanka memanas, berkaca-kaca, membuat pandangannya memburam.

Beberapa jam lalu setelah Emberlyn datang, Violetta menangis terisak-isak. Gadis kecil itu terus mengucapkan ingin bertemu Vincent, tetapi tidak Jovanka turuti. Entahlah, apakah sebegitu kuatnya ikatan batin Violetta ke Vincent, sampai merasa sedih ketika ia melarangnya bertemu? Memikirkannya, Jovanka hanya bisa meratapi kemirisan hidupnya yang kini justru menular ke anaknya.

"Maafin Mama sudah bikin, Vio, susah." Dengan bibir bergetar dibarengi luruhan air mata, Jovanka merengkuh Violetta sambil mengecup dalam-dalam kening gadis itu. Ia berharap panasnya bisa terserap ke tubuh dirinya meskipun itu mustahil.

"El, aku mau ketemu Vio. Jangan halangi aku untuk bertemu anakku."

"Pak, tapi Mbak Jo melarang Anda. Saya sudah dipesankan untuk melarang Anda masuk ke sini."

"Kenapa, El? Kalian tidak bisa berbuat seperti ini kepadaku. Vio anakku juga, dia butuh aku."

"Pak!"

Mendengar suara keributan di bawah, Jovanka terdiam sejenak untuk mengawaskan pendengaran. Sadar jika itu suara Vincent, ia segera beranjak turun lalu mengayunkan kaki menuju pintu, membukanya.

"Mau apa ke sini?" Melihat Vincent berlari menaiki anak tangga, Jovanka bertanya penuh penekanan, suaranya terdengar datar.

Lelaki itu terkesiap. Berhenti sejenak, lalu ia melangkah pelan mendekati Jovanka yang sudah berdiri di depan pintu. "Jo, aku mau bertemu Vio. Kenapa Ely melarangku datang ke sini untuk bertemu anakku?"

Jovanka menutup pintunya rapat-rapat. Ia tidak ingin Violetta mendengar suara lelaki yang masih rapi dengan pakaian kerjanya. Berdiri dengan dagu terangkat, ia bersedekap. Tatapannya menyorot tajam Vincent. "Aku yang meminta Ely melarangmu masuk. Kenapa? Keberatan? Seharusnya kalau kamu memiliki telinga dan masih berfungsi dengan baik, paham apa yang diucapkan Ely."

"Jo, ada apa denganmu? Kemarin kamu baik-baik saja. Kenapa sekarang sangat berubah?" tanya Vincent penasaran. Meskipun kemarin Jovanka masih marah, tetapi tidak sedingin dan sedatar seperti sekarang.

"Aku tidak pernah baik-baik saja jika kamu ingin tahu. Dan kamu tahu siapa penyebabnya?" Jovanka menjeda ucapannya. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kilat kebencian dari bola matanya yang teduh itu terpancar jelas, berusaha menyusup masuk ke mata lelaki di depannya.

"Kamu, Vincent. Kamu yang menyebabkan perubahan sifatku kepadamu." Berucap penuh penekanan, Jovanka menekankan jemari telunjuknya ke dada Vincent.

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now