Part 8

762 141 16
                                    

Ketiduran karena lelah menangis, Jovanka terbangun ketika cuaca di luar sudah menggelap. Ia mengerjap beberapa kali untuk mengumpulkan nyawanya yang belum terkumpul sempurna. Teringat kedatangan Brian tadi, ia mengubah posisi tidurnya yang miring menjadi telentang. Kemudian, menatap langit-langit kamar dalam keremangan malam.

Di benaknya, Jovanka berpikir akan seperti apa hidupnya di masa depan? Apakah ia akan terus menjadi seseorang yang rapuh? Apakah ia akan terus menyembunyikan kehadiran anaknya dari khalayak, yang lambat laun akan memperlihatkan keberadaannya? Atau ... ia akan menyerah pada satu titik terendah dan semua akan baik-baik saja? Mengakhiri hidup misalnya, seperti yang dilakukan banyak perempuan saat mengalami nasib sama.

Tapi, apakah itu jalan terbaik? Rasanya ia akan menjadi seorang pecundang yang lari dari masalah jika sungguh-sungguh melakukannya. Sedangkan datangnya masalah itu dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain, kecuali Vincent. Sebab, saat melakukan hubungan intim ia dan Vincent dalam keadaan sadar, suka sama suka. Tidak ada paksaan.

"Seharusnya kamu bisa seperti bunga dandelion, Jo. Dia bunga yang kuat dan bisa tumbuh di mana saja. Meskipun rapuh, tapi dia begitu kuat, begitu indah, dan begitu berani," bergumam, Jovanka mencoba untuk menguatkan dirinya sendiri.

Kemudian, salah satu tangannya mengusap perut yang terasa keras dan menonjol. "Sedangkan di dalam sini, satu-satunya Violet yang kamu punya. Violet yang akan selalu bersamamu sampai kapan pun. Violet yang akan selalu setia menemanimu. Kalau kamu mengakhiri hidup, tidak ada bedanya dengan orang tuamu, Jo. Kamu sama-sama jahat seperti mereka."

"Apa kamu tega, melenyapkan satu nyawa yang seharusnya masih memiliki harapan untuk menatap dunia?"

Jovanka terdiam, mengatupkan mulut rapat-rapat. Dalam kesunyian, pikirannya berkelana memikirkan banyak hal. Ia juga tidak berniat untuk menyalakan lampu, karena masih menikmati kegelapan yang tercipta. Hening yang menemani, membuat hatinya semakin sepi. Seperti benar-benar sendiri di dunia ini.

"Apa pun yang terjadi ke depannya, kamu harus siap menghadapinya, Jo. Jadilah Violet untuk Violetmu. Saling menguatkan. Kamu dan anakmu pasti bisa melewati kehidupan yang keras ini. Andai orang lain sudah tahu kamu hamil, tetaplah seperti dandelion yang kuat." Jovanka berucap lag untuk menguatkan dirinya sendiri.

Ya, ia sadar. Kekuatan yang sesungguhnya adalah dari dalam diri
dan hanya diri sendiri yang bisa menangani. Orang lain, mereka hanya akan melihat dari apa yang mereka lihat. Lalu, akan menyingkirkan rasa iba dan menciptakan huru-hara sebagai bahan gosipan. Untuk mengatasi andai-andai yang akan terjadi, Jovanka mulai menyiapkan diri. Ia akan membangun pondasi yang kokoh agar hatinya tetap kuat dan tegar.

Sementara dengan Vincent, ia akan tetap menanti kepulangannya sampai kapan pun, sampai lelaki itu yang menemui dirinya lagi. Dan mulai sekarang, untuk menjaga kewarasannya agar tetap terjaga, ia bertekad tidak akan mencari Vincent lagi. Takut jika harapannya sia-sia dan akan membuahkan rasa kecewa semakin dalam.

Keesokan harinya, Jovanka tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya ingin menyibukkan diri di toko. Selain itu, ia juga merasakan tenaganya masih lemas dan tubuhnya masih lelah. Bahkan, tadi pagi perutnya sempat kram ringan, mungkin efek karena kelelahan.

"Mbak Jo, kamu baik-baik saja? Aku amati akhir-akhir ini, Mbak Jo, sering sakit-sakitan."

Jovanka yang sedang duduk di balik meja kasir--memasarkan buket bunga lewat online menggunakan laptop--menatap Leoni yang sedang mengambil beberapa macam bunga untuk dibuat buket.

"Aku baik-baik saja, Le. Tapi, memang iya, sih, akhir-akhir ini badanku lagi tidak fit," jawab Jovanka, sambil mengukir senyum tipis.

Leoni mangguk-mangguk. Lalu, pikirannya teringat tentang Brian yang kemarin meminta tolong agar Jovanka mau menemuinya. Pusing dan bingung sendiri harus memulai pembicaraannya dari mana, Leoni masih diam sambil menatap baby's breath, mawar merah, komamil serta daun eucalyptus dalam genggamannya. Kemudian, ia mengangkat kepala menatap Jovanka yang kini sudah berkutat dengan laptopnya lagi.

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now