Part 23

718 157 9
                                    

"Kenapa anak saya mengalami mimisan lagi, Dok?"

Mendengar pertanyaan dari wanita muda di depannya, Dokter Lukman menatapnya serius. Ia paham yang menjadi kegelisahan Jovanka. Dari nada suaranya pun sudah menjelaskan jika perempuan itu sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya.

"Dari hasil pemeriksaan, trombosit Violetta mengalami penurunan lagi dan itu yang menyebabkan dia pendarahan, Bu. Untuk meningkatkan trombositnya stabil kembali, kami sudah melakukan transfusi darah. Sayangnya, golongan darah yang sama dengan Violetta hanya tinggal dua kantong persediaan. Kami belum bisa memastikan apakah itu cukup untuk meningkatkan kestabilan trombositnya. Maka dari itu, kami membutuhkan golongan darah A+ yang sama dengan Violetta, Bu."

"Astaga." Membekap mulut, Jovanka menggeleng. Kemudian, ia menatap Brian sambil berkata, "Darahku tidak sama dengan Vio, Bi."

"Kami akan menghubungi PMI, Bu. Semoga dari pihak sana ada persediaan golongan darah A+. Jika pun tidak ada, kita berusaha bersama untuk mencari pendonor golongan darah A+. Dan untuk sedikit informasi, mungkin hal ini akan sering terjadi kepada Violetta ke depannya. Karena sewaktu-waktu yang tidak bisa dipastikan, trombositnya akan mudah menurun. Sebab, sumsum tulang belakang tidak bisa memproduksi sel darah." Dokter Lukman menyahut.

"Iya, Dok." Berucap lemas, Jovanka mengangguk paham.

"Kita berusaha bersama, Jo. Demi kesembuhan Vio," ujar Brian, sambil menatap iba perempuan itu. Lalu, menggenggam tangan Jovanka agar tetap tenang. Setelah semua informasi tentang kondisi Violetta didengar, ia dan Jovanka memutuskan keluar dari ruangan Dokter Lukman, langsung menuju ruangan IGD.

Sementara di ruang IGD, Vincent telah menunggu Violetta duduk di samping brankar. Ia memandangi wajah pucat gadis kecil itu yang hidungnya terpasang selang oksigen, serta dadanya terpasang kabel yang terhubung ke patient monitor. Sungguh, melihat itu hatinya terenyuh sakit. Ia sendiri bisa merasakan bagaimana kesakitan yang anaknya rasakan. Apalagi Violetta juga harus melakukan transfusi darah.

"Sakit apa sebenarnya kamu, Sayang? Kenapa harus melakukan tranfusi darah dan kenapa harus dipasang alat-alat seperti ini di tubuhmu?" Vincent bertanya, tetapi tidak ada sahutan.

Seperti naluri seorang ayah ke anak yang ingin melindungi, sedari masuk ia terus menggenggam tangan mungil itu. Sedangkan satu tangannya mengusap pelan puncak kepala Violetta penuh kasih sayang. Berharap, anaknya itu segera sadar dan melihat dirinya ada di sampingnya.

"Vio, tahu ... Papa sangat khawatir dengan, Vio. Bangun, Sayang. Biar kita bisa bermain bersama lagi. Nanti Papa akan mendongengkan cerita-cerita lucu lagi untuk, Vio." Lelaki itu berucap lirih, suaranya terdengar serak-serak basah.

Saat melihat kelopak mata gadis kecil itu mulai membuka perlahan, senyum Vincent mengembang. Matanya berkaca-kaca. Rasa haru bahagia pun menyelimuti hatinya.

"Om Vincent." Sangat lirih suaranya, Violetta memanggil Vincent.

"Iya, Sayang. Om ada di sini."

"Jangan jauhin Vio. Vio mau sama, Om." Mata gadis kecil itu merebak merah. Air matanya mengalir begitu saja melewati pelipis ketika teringat kejadian sebelumnya--saat sang mama tidak membolehkan dirinya bertemu lelaki itu lagi.

Vincent menggeleng. Ia mengukir senyum manis untuk gadis kecilnya. "Tidak, Sayang. Om akan menemani, Vio, di sini. Tapi, Vio, harus sembuh, ya."

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now