Jovanka mengusap kasar jejak air mata di wajahnya. “Dari kisah ini, aku bisa lebih memahami apa itu arti menjaga. Dari menjaga diri, menjaga kepercayaan, dan menjaga amarah agar tetap tenang meskipun sebenarnya hati sedang hancur tak karuan. Dan dari kisah kita, aku menjadi tahu bagaimana cara memberi edukasi kepada Vio jika sudah besar nanti. Bahwa sejatinya, kehidupan itu tidak melulu soal nafsu yang harus dituruti. Aku tidak ingin Vio mengalami nasib yang sama sepertiku. Jangan sampai.” Ia menggeleng.

“Aku juga paham bagaimana perasaan Bunda, kenapa bisa semarah dan sekecewa itu kepadaku. Hingga dia tega memutuskan tali kasihnya sebagai orang yang telah merawatku.” Lagi dan lagi, air mata Jovanka berjatuhan. “Aku tidak akan membenci Bunda, Vincent. Aku masih menunggu pintu maaf darinya. Aku ... aku merindukan dia. Sangat.”

Tangis Jovanka pecah lagi. Tubuhnya bergetar hebat. Suara sesenggukannya pun terdengar begitu menyayat hati, membuat Vincent kembali menangis dalam diam.

Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, sembari mengecup kepala Jovanka. Ia membisu seketika, kehabisan kata-kata untuk membalas ungkapan perempuan dalam dekapannya. Lidahnya terasa kelu. Tenggorokan tercekat. Dada pun berdenyutan tak keruan. Sementara itu, hati bagai ditusuk ribuan jarum. Sakit yang tak tertahan.

Sampai pagi, mereka masih dalam posisi sama. Tidur terduduk, dengan posisi Jovanka masih berada dalam dekapan Vincent. Ia terbangun saat mendengar suara Violetta memanggil.

“Mama nangis? Mama matanya sembab.” Gadis kecil itu bertanya saat Jovanka sudah berdiri di samping ranjang.

“Oh, Mama semalam nonton film sedih, Sayang. Makanya sampai nangis.” Jovanka beralibi sembari mengukir senyum. Tangannya mengusap kepala Violetta penuh kasih sayang.

“Mama juga tidur dipeluk Om Vincent.” Gadis kecil itu bertanya lagi, tampak ingin tahu sekali.

“Iya.” Mengangguk, Jovanka menjawab lagi, “Om Vincent nenangin Mama, Sayang. Kasihan katanya. Karena semalam Mama lelah menangis, akhirnya ketiduran. Dan ternyata masih dipeluk Om.”

Violetta berusaha memahami saja karena ada pertanyaan lain yang mengganggu pikirannya. “Mama, papanya Vio kapan pulang? Apa papanya Vio masih lama bekerja di tempat yang jauh?”

Violetta bertanya hal itu karena memang merindukan sosok papa. Ia ingin sekali bertemu, ingin melihat bentuk wajah papanya seperti apa, dan ingin bermanja kepada sang papa seperti teman-teman lainnya ketika sedang sakit. Banyak yang bercerita kepada dirinya bahwa papa mereka sangat perhatian ketika mereka sedang sakit. Mereka selalu digendong dan dimanja. Dan Violetta ingin melakukan hal yang sama. Meski selama ini ia merasakan kasih sayang dan perhatian dari Brian, tetapi rasanya tetap ada yang berbeda. Seperti ada yang masih kurang dari dalam hatinya.

Jovanka menatap Vincent yang masih duduk di sofa. Pandangan mereka saling bersitatap, seakan-akan memiliki pertanyaan yang sama, bagaimana harus menjelaskan kepada gadis kecil mereka.

Akhirnya, untuk membantu kebingungan Jovanka, Vincent beranjak. Ia melangkah menghampiri Violetta. “Vio merindukan papanya Vio?”

Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Om Baik.”

“Kalau papanya Vio sudah ada di sini, Vio ingin melakukan apa?”

“Vio pingin digendong.”

Sesederhana itu kemauan gadis kecilnya. Vincent tersenyum haru. Sementara itu, Jovanka hanya diam melihat interaksi keduanya, membiarkan Vincent menangani Violetta. Ia akan memberikan kebebasan lelaki itu untuk mendekatkan diri kepada sang buah hati.

OBVIOUSLY PAIN Where stories live. Discover now