23. The Truth

4K 657 86
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Marsha menarik jaket Mario, memberi kode agar dia tidak memanggil Joseph yang kelihatannya sedang membayar tiket pesanannya. "Nggak usah dipanggil, Yo! Kita nggak lihat, ceritanya gitu," bisik Marsha.

"Ah, panggil, ah!" Mario sengaja mengangkat tangannya, berniat melambai.

"Heh!" Marsha menarik tangan Mario dengan sebelah tangannya yang bebas ember popcorn. Lalu mendelik agar Mario menghentikan candaan tidak perlunya.

"Kenapa sih? Santai aja kali, biar dikenalin, itu cakep juga tuh cewek gandengannya!" ujar Mario dengan tampang berseri.

Marsha pun meraup popcorn banyak-banyak, dan menyumpal mulut Mario dengan itu. Terhuyung sedikit, kepala Mario pun menoleh sebal ke arah Marsha. "Ngapa sih lo?" gumam Mario sambil memicingkan mata. "Bercanda gue! Sensi amat? Tuh orangnya juga belok ke sana tuh!"

Mario menunjuk dengan dagunya, Joseph memang dari arah kasir tidak menoleh ke belakang sama sekali, tapi langsung ke sisi kanan kasir, kemungkinan langsung masuk ke teater lain. Dari posisi mereka duduk ke arah kasir memang jauh, saking luasnya area tunggu, ditambah lagi orang-orang berlalu-lalang di lobby. Ibarat mereka sudah menyaksikan banyak drama duluan bahkan sebelum film diputar, entah ada pasangan yang sedang bertengkar karena urusan tiket, anak kecil merengek pada orangtuanya lah, entah satpam yang mencegat segerombolan remaja membawa makanan lah. Tak terhitung urusan manusia lain.

Marsha pun menyandarkan punggungnya dengan keras ke tembok. Memeluk ember popcorn dengan muka ditekuk. Mario menyentuh jaket Marsha dan menepuknya pelan.

"Heh! Meper kan lo??" sungut Marsha, sambil mengusap-usap bekas tangan Mario di jaketnya.

Mario menyengir, sambil mengayunkan tangannya agar Marsha bangkit dari singgasana mereka. "Masuk yuk! Bentar lagi mulai deh nih," Ia mengerling jam tangan sekilas.

Marsha akhirnya menapakkan kakinya ke lantai berkarpet, dan mulai melangkah di sisi kiri Mario. Dengan santai pemuda itu meraih bahu Marsha dan mengistirahatkan lengannya di sana. Sampai ke depan teater satu, mereka menunjukkan tiket untuk disobek petugas yang berjaga di depan pintu.

***

"Aduh, anak Mami kok cuma pakai kaus putih gitu? Nggak ada dress apa? Mbok Tum yang dress merah jambu masih di laundry kah?" Wanita itu bertanya pada asisten rumah tangganya, ketika melihat Clarissa menuruni tangga.

Mbok Tum, baru saja mengambil gelas kosong milik Yudis, gelas itu tadinya berisi Extra Joss plus es batu. Kata Clarissa tadi, fruit punch itu maksudnya Extra Joss, jadilah Mbok Tum menyajikan minuman pilihan si Aden. Melihat gelas itu kosong hingga tetes terakhir, Mbok Tum berasumsi fruit punch buatannya enak sekali.

"Waduh, ada kok, Mamiku, tapi katanya Mbak Ica nggak pilih itu, katanya gerah!"

Jelas sang bunda terheran-heran karena Clarissa hanya mengenakan kaus putih lengan panjang, dengan skinny jeans hitam, satu kalung etnik sederhana menghiasi leher panjangnya. Dan yang paling aneh, rambutnya hanya diikat satu, tinggi-tinggi, padahal biasanya Clarissa hobi sekali catokan model kriwil-kriwil gelombang sana sini.

Ideal CutWhere stories live. Discover now