14. Janji

302 46 53
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

"Puding?"

Andini sontak menoleh ketika mendengar suara tenang itu menyapa. Lelaki berbaju batik resmi yang baru sekitar setengah jam yang lalu menyematkan tanda ikatan di jari manis kirinya, tampak menyodorkan cawan kecil berisi puding buah bersalut vla.

"Makasih, Mas Gelora," balas Andini seraya tersenyum. Ia lalu menerima kudapan segar itu.

"Biar nggak tegang." 

Guyonan Gelora spontan menyulut tawa geli Andini. Rona merah muda lalu mengembang di kedua pipinya yang berseri.

Gelora kemudian mengambil tempat di sebelah Andini. Keduanya lalu menatap sejenak keramaian halaman belakang rumah kediaman keluarga Rajasa. Para anggota dari dua keluarga tengah berkumpul bersama, berbaur dalam changat engkerama dan canda yang. Rangkaian bunga-bunga dan tanaman tropis tampak menghias berbagai sudut. Di beberapa titik, ada pula anggota-anggota keluarga yang tampak tengah menikmati sajian-sajian lezat yang ditata di meja dan gubuk-gubuk penganan kecil.

Gazebo teduh berwarna serba putih yang berhias tanaman-tanaman hijau dan bunga-bunga itu, lalu menjadi saksi sebuah privasi dari sepasang muda-mudi yang baru saja lepas dari acara pengikatan. Keluarga mereka seperti telah sama-sama bersepakat memberi waktu bagi keduanya untuk saling berbincang berdua saja selepas prosesi sakral itu.

"Gimana, sudah lega?" tanya Gelora, yang sudah lebih dulu memecah hening.

Andini—gadis yang hari itu mengenakan kebaya berwarna krem lembut nan cantik—tampak mengangguk tipis. Rautnya masih tampak agak rikuh, tetapi tetap manis. Gelora lalu membalasnya dengan senyum hangat.

Momen-momen di satu jam lalu kembali terngiang di benak Andini. Sang arsitek yang hari itu tampak gagah dengan rambut rapi dan setelan batik formal, berdiri di hadapannya serta anggota-anggota keluarga Rajasa dan Nasution—menyampaikan maksud hati untuk meminang Andini.

Dari awal ketika Gelora mengawali bait-bait pinangannya yang syahdu, ia selalu tampak tenang dalam merangkai kata. Lelaki yang biasanya lebih banyak terlihat guyon itu, justru tampak sama sekali berbeda. Wibawanya sebagai anak dari keluarga Nasution tidak diragukan lagi. Gelora betul-betul mampu memosisikan dirinya di depan putri kesayangan keluarga Rajasa yang terpandang. Andini hampir saja dibuat tidak mengenali lelaki itu, saking berubah tenangnya sikap Gelora.

Tegas, tetapi tetap halus, selayaknya darah Batak-Jawa yang mengalir deras di tubuh lelaki itu. Setiap tutur kata Gelora dan mata yang tak ragu menatap sang jelita, tanpa bisa dicegah telah membuat batin Andini lumayan kebat-kebit tadi—hingga suaranya sempat terdengar agak terbata ketika mulai diberi waktu untuk menjawab pinangan Gelora.

Aneh sekaligus mengkhawatirkan, Andini sempat berpikir, kalau mungkin hanya dirinya seorang yang merasakan gugup dan semringah—tetapi tidak dengan Gelora.

"Ingat nggak? Dulu, saya, Mas Gelora, sama Mas Rama pertama kali ketemu juga di tempat ini," kenang Andini seraya matanya memperhatikan keponakan-keponakan kecilnya yang tengah berlarian di taman—ingatannya menerawang pada kenangan lama.

Gelora mengiyakan singkat seraya mengangguk. Bibirnya memulas senyum tipis ketika mengingat momen berbelas tahun silam. Kala itu telah lewat sepekan selepas hari raya, Erwan—sang ayah—berkunjung ke kediaman seorang kawan sekaligus kolega lamanya untuk sekadar silaturahmi, yang tak lain adalah keluarga Rajasa. Pada momen tersebut, tidak hanya sang istri saja yang ikut serta, Gelora dan Rama pun turut diajak oleh Erwan. Dan, itu adalah kali pertama dua putra kesayanngannya mengenal sosok anak gadis semata-wayang keluarga Rajasa.

Tenderly (FIN)Where stories live. Discover now