3. Monas

386 61 42
                                    

Dari Planetarium Jakarta di kawasan Taman Ismail Marzuki, Brenda kemudian memacu mesin mobil Gelora menuju kawasan pusat kota. Kali ini justru giliran Gelora yang punya ide aneh.

"Ngapain sih naik ke Monas? Udah panas, lift-nya ngantri seabad pula. Kayak nggak ada ide lain aja kamu, nih."

Gerutuan Brenda terlontar tatkala ia malas-malasan menuruti keinginan Gelora untuk naik sampai dek observasi tertinggi di monumen kebanggaan ibu kota itu.

"Nggak apa-apa, sih, Bren. Sekali-sekali, lah. Ngaku, deh. Kamu seumur-umur tinggal di Jakarta, pasti belum pernah naik sampai ke atas, 'kan?" selidik Gelora, yang kemudian membuat Brenda bungkam.

Omongan Gelora memang ada benarnya. Seumur-umur jadi warga ibu kota, Brenda memang belum pernah sekali pun naik sampai dek observasi tertinggi. Selain karena tidak pernah tertarik, Brenda sesungguhnya punya alasan lain yang lebih penting. Alasan yang menyangkut harga dirinya.

"Semangat, Dokter Brenda! Dikit lagi kita naik. Pokoknya maju terus pantang mundur! Hidup warga Jakarta!" celetuk Gelora lantang-lantang seraya menepuk pundak Brenda. Antrean mereka saat itu sudah hampir mencapai elevator.

Ocehan Gelora sontak membuat beberapa orang yang mengantre di belakang juga ikut tertawa kecil. Brenda kemudian hanya memutar bola matanya malas, malu dengan sikap agak edan kawannya itu.

Debur angin menyapa ketika pintu elevator membuka dan mempersilakan pengunjung untuk menginjakkan kaki di dek observasi. Gelora yang sedari tadi sudah semangat setengah mati, langsung bergegas keluar dari ruangan kubus berkatrol itu.

"Brenda, ayo ce—"

Belum sempat ocehannya rampung, Gelora sontak dibuat terdiam ketika melihat Brenda masih mematung di dalam elevator yang sudah kosong. Gestur enggan yang ditunjukkan gadis itu sudah cukup menjelaskan segalanya. Ingatan Gelora terputar ke beberapa tahun silam ketika Brenda menolak mentah-mentah ajakan Gelora ketika diajak naik wahana ferris wheel di taman hiburan. Ya, gadis penyuka roti gambang itu memang tidak begitu bersahabat dengan ketinggian.

Langkah Gelora kemudian berbalik menuju elevator. Tawa kecilnya mengalun.

"Bren, ayo. Sini sama saya."

Jemari Gelora tampak terulur. Brenda sekilas menggeleng samar, menolak tawaran Gelora.

"Ayo, Bren. Sekali aja. Jangan takut. Kan, ada saya di sini. Janji, nggak akan saya lepas tanganmu."

Sekali lagi, Gelora masih mencoba meyakinkan Brenda. Senyum tenang terpulas seraya jemarinya masih terulur di depan wajah Brenda. Untuk sesaat, pandangan mereka bertaut hangat.

Kala itu, Brenda serasa tengah disuguhi kenangan masa lampau yang rasanya hampir pudar—kenangan akan masa-masa ketika Gelora pernah menjadi sosok yang selalu menggenggam jemarinya ketika senang atau berduka. Dahulu, Gelora selalu jadi yang pertama meyakinkan Brenda kalau segalanya akan baik-baik saja dan akan mampu mereka lewati bersama.

Satu kedipan mengenyahkan angan singkat Brenda. Meski ragu, jemarinya yang terasa dingin kemudian jatuh dalam genggaman Gelora. Pelan-pelan, langkah Gelora menuntun, hingga akhirnya sampai ke depan dinding pembatas. Perasaan Brenda perlahan mencelus lega. Pandangan takjubnya kemudian menyapu wajah Gelora.

"Bren, sekarang boleh saya lepas?" tanya Gelora lembut, seraya perlahan mengendurkan genggaman jemari.

Seperti tidak siap, Brenda sontak menggeleng pelan. Buru-buru ia eratkan lagi genggaman jemarinya pada Gelora. Tawa halus pria itu meluncur. Tingkah Brenda malah persis anak kecil yang takut ditinggal pergi kerja oleh ayahnya.

Ada rasa dan kisah lampau yang seketika terbersit dalam benak Gelora. Dahulu, ia juga pernah mendapati adegan semacam ini. Memang pernah ada masa ketika Gelora harus melihat Brenda begitu enggan melepasnya. Memang pernah ada masa ketika air mata Brenda mengucur deras tatkala Gelora tak punya pilihan selain melepas hari-hari yang pernah mereka jalani bersama.

Tenderly (FIN)Where stories live. Discover now