10. Kamu

351 51 38
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

"Gelora, kamu bisa dengar saya?"

Suara itu menariknya dari kelebatan mimpi-mimpi indah yang mengaburkan segala rasa sakit. Gelora pada akhirnya tak punya pilihan lain kecuali tersadar jika dirinya bukanlah yang kini tengah baik-baik saja.

"Gelora kamu bisa lihat jelas saya? Ini saya, Brenda."

Lagi, suara itu memanglah eufoni yang membangkitkan hangat di hati Gelora. Akan tetapi, semua segera berubah pilu dan dingin ketika suara-suara irama desau ventilator dan suara-suara alat-alat medis lain menyelip di antaranya. Semua itu kembali mengingatkan Gelora kalau setidaknya pada detik itu ia masih hidup meski sekujur tubuhnya masih terus digerayangi lelah yang tidak berkesudahan.

"Gelora, hei," sapa suara itu lagi.

Elusan lembut sebentuk tangan lalu mendarat pada pelipis Gelora, membuatnya kian terikat pada realita. Awalnya berbayang dan buram, Gelora masih butuh beberapa jenak bersusah payah membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat dan lelah. Suara isakan samar seorang perempuan kemudian lebih dulu terdengar. Perlahan Gelora mencoba membuat penglihatannya yang buram fokus kembali, hingga akhirnya ia mampu mengenali sosok Brenda.

Gelora mulai melihat kesedihan tergurat dalam pada wajah sang jelita. Ia ingat, itu adalah kesedihan yang serupa dengan kesedihan sang ibu yang ia lihat di kala pagi itu.

Kamu? Kamu kenapa?

Saya sudah buat kamu takut, ya, Brenda?

Kepiluan yang Gelora lihat di mata Brenda kembali memutar ingatannya pada sebuah pagi yang tidak seperti biasa. Dirinya yang tiba-tiba tidak mampu merasakan kedua kaki dan kemudian tubuhnya jatuh begitu saja di ubin yang dingin. Napasnya kian berat. Mama yang menangis di depannya. Gelora yang harus melihat dirinya digendong ketika hendak masuk ke mobil. Ruang steril yang menakutkan, serta bunyi-bunyi mesin yang membantunya untuk hidup. Semua potongan adegan-adegan nelangsa itu kembali berkelebatan dalam memori Gelora.

Inginnya memeluk tubuh itu, inginnya mengusap singkat jejak kesedihan yang mengalir di pipi sang jelita. Akan tetapi, sekadar untuk merasakan sentuhan perempuan itu saja, Gelora bahkan tak mampu.

Rasa sakit di sekujur tubuh segera menyerang Gelora saat matanya sudah benar-benar melihat jelas sosok Brenda. Gelora tak mampu menjelaskannya, hanya sanggup menahan dalam ketidakberdayaan yang terus menyiksa. Ia lalu masih mencoba menggerakkan bibir meski ia sendiri hampir tidak mampu merasakan apakah bibirnya bergerak atau tidak. Pada akhirnya hanya ada embusan napas lemah yang keluar.

"Gelora, ada yang mau kamu sampaikan?"

Warna suara lain kini terdengar bergantian menyapanya. Suara seorang lelaki.

"Ini saya, Dokter Anggara. Ada yang bisa saya bantu?" ucap sang dokter spesialis yang ternyata cukup peka menangkap kegelisahan Gelora.

Setelahnya, Brenda memang tidak melihat respons yang berarti dari Gelora. Meski begitu, ia yakin kalau Gelora pasti paham ucapan Dokter Anggara. Brenda tahu jika tidak ada yang salah dengan kondisi pikiran dan otak pemuda itu, semua masih sebening mata air. Hanya saja, kelumpuhan yang kini hampir merata di sekujur tubuh, telah membuat Gelora tidak mampu menyampaikan segala keluhnya.

"Gelora, pelan-pelan kita coba sebentar, ya? Saya bantu kamu. Seperti tadi pagi, satu-satu saya akan ejakan huruf dan angka. Kamu bisa kedipkan matamu kalau ada huruf dan angka yang ingin kamu pilih. Kalau sudah bisa dimengerti, boleh kedipkan matamu sekarang?"

Tenderly (FIN)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora