1. Cikini

1.5K 112 48
                                    

Saya tunggu di taman rumah sakit.

Jemari Gelora menekan ikon pesawat kertas di sudut layar, membuat sebuah pesan singkat terkirim pada jendela obrolan yang memuat nama seorang wanita pada bagian title bar. Kemudian, pandangan mata pria dengan kemeja biru langit itu bergulir, mendapati bangunan tua gaya gotik yang sekiranya sudah berumur seratus tahun lebih. "Istana Raden Saleh", begitulah ia kerap disapa.

Disebut "istana" adalah memang karena kediaman milik maestro lukis kenamaan Indonesia yang mendunia—Raden Saleh—dari luar akan terlihat seperti istana megah dengan pilar-pilar dan pintu-pintu daun gandanya yang besar. Fasadnya sekilas akan terlihat seperti fasad gereja-gereja di Eropa. Kosen-kosen pintu ataupun jendelanya berbentuk lengkung runcing berusuk, dihias ukiran-ukiran rumit. Bangunan di bilangan Cikini yang telah menjadi bagian dari sebuah rumah sakit tua itu, adalah salah satu yang paling berkesan bagi Gelora. Bukan hanya karena gaya bangunannya, tetapi juga karena sejarahnya.

Langkah pria itu kini terhenti pada sebuah taman hijau besar yang ada di tengah-tengah deretan ruang perawatan yang melingkar. Sekumpulan orang terlihat tengah duduk-duduk di bangku taman atau sekadar jalan-jalan santai di bawah rimbunnya pepohonan. Beberapa di antaranya terlihat mengenakan pakaian putih yang seragam.

"Saya pikir kamu cuma bercanda."

Suara seorang perempuan terdengar menyapa dari arah belakang bangku taman. Lelaki pengagum bangunan rumah sakit tua itu pun, spontan dibuat menggulirkan pandangan. Lantas, dihadiahkannya raut heran pada perempuan tadi.

"Saya pikir kamu serius," ujar Gelora seraya menukikkan alis. Dan lalu, hening beberapa detik.

"Ck! Apaan, sih, Ra. Pagi-pagi udah jayus."

Perempuan dengan garis mata sipit dan kulit kuning cerah khas darah keturunan orientalis itu mencebik sambil cengengesan, memecah garingnya lelucon pagi yang dilontarkan Gelora. Jemarinya lalu menoyor pelan pundak lelaki dengan gaya rambut curtain cut itu.

Tawa gurih Gelora sontak mengalun. "Memang kapan, sih, saya pernah nggak serius sama kamu, Brenda?" tanya Gelora santai. Perempuan yang tadi ia sapa dengan nama 'Brenda' itu lalu hanya terdiam seraya mengambil tempat kosong di sebelahnya.

"Jadi kamu beneran nggak pulang dari kantor semalaman? Terus langsung ke sini?" tanya Brenda, kembali mencoba buka suara.

"Jadi Bu Dokter Brenda beneran jaga malam dan baru selesai jam segini?"

"Hih, nanya balik terus, deh," sewot Brenda, kepalang geregetan dengan Gelora yang tidak bisa diajak serius.

Tawa lelaki itu pun meledak lagi ketika melihat wajah kesal Brenda yang beranjak memerah, gemas sendiri.

"Iya, dong. Kan, dari semalam saya sudah bilang mau tunggu kamu. Mumpung hari ini Sabtu, makanya Jumat malamnya saya bablasin aja sampai pagi di studio. Lumayan, dapat kelar satu denah lantai. Terus paginya bisa ketemu Bu Dokter Brenda, deh. Paket komplit. Asik nggak, tuh?" beber Gelora panjang-lebar.

"Dih, Tukang Bangunan bisa aja gombalnya."

Ledekan Brenda yang tak pernah terasa basi kembali memancing humor dan gelak tawa Gelora. Sama seperti satu setengah tahun lalu, residen bedah yang kini sudah genap berusia 30 tahun itu, ternyata masih senang meledek Gelora—sang arsitek—dengan panggilan "Tukang Bangunan".

Brenda, kamu dinas apa hari ini? Kalau dinas dari malam sampai pagi, saya mau nginap di studio, terus besoknya saya temui kamu di rumah sakit. Kita jalan bareng.

Brenda, perempuan dengan rambut lurus sebahu itu, masih kukuh memasang raut tidak percaya. Tanpa tahu maksudnya apa dan tanpa tedeng aling-aling, Gelora sudah membuat Brenda mengerutkan kening dalam-dalam ketika membaca pesannya kemarin malam. Awalnya, ia hanya menganggap pesan Gelora sebagi lelucon, bahkan menanggapinya dengan sedikit senewen. Namun kemudian, Brenda hanya sanggup membalas dengan 'okay, up to you', tanpa berpikir kalau Gelora nyatanya memang betul-betul akan bertindak serius.

Tenderly (FIN)Where stories live. Discover now