9. Di Dekatnya

359 49 52
                                    

Sebelum membaca, kamu bisa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.

-:-:-

Aku di taman rumah sakit.

Langit senjakala bersemu merah, serupa rona mawar di kedua pipi gadis yang tengah membaca pesan singkat itu. Sudah tiga kali dalam sebulan ini, Brenda selalu menerima pesan yang isinya hampir sama. Pesan singkat yang akan langsung membuatnya bersemangat lagi setelah setengah hari diserbu oleh pasien dengan berbagai rupa-rupa.

Menyusuri selasar-selasar bangunan rumah sakit tua tempatnya mengabdi, Brenda kemudian melangkah riang ke arah taman—hendak menemui sosok penuh kejutan yang mengiriminya pesan tadi. Di dekat rindangnya pepohan yang menghias ruang terbuka hijau itu, mata sipitnya lalu mendapati pria kesayangannya ada di sana.

Seperti biasa, Gelora memang selalu memilih duduk di bangku besi panjang. Bertolak dari firma arsiteknya, ia memang kerap kali menyempatkan diri untuk menengok Brenda selepas pulang kantor, untuk kemudian menghabiskan waktu rehat sore bersama-sama dengan sederhana.

Langkah Brenda yang tengah mengalun, sontak terhenti sejenak di dekat pagar semak pembatas taman. Dari kejauhan, semburat jingga surya tampak menembus rindang dedaunan pohon beringin, lalu menyaput sepetak luasan taman di mana Gelora duduk. Ujung-ujung rambut yang agak berantakan dan sebagian kemeja Gelora tampak dibelai hangat senja—membuatnya tampak keemasan. Brenda mendapati pria itu tengah sibuk dengan sebuah pocket sketchbook dan pena micron di tangan. Masih sama seperti hari-hari lain, Gelora memang paling senang membunuh waktu dengan menggambar sketsa singkat di pocket sketchbook yang selalu ia bawa ke mana-mana itu.

Brenda lalu tak kuasa menahan ujung bibirnya yang tertarik ke atas. Dari kejauhan, ia memperhatikan setiap gerak jemari dan gurat ekspresi rupa yang tercipta kala sang kekasih tenggelam dalam dunia kecilnya. Ribuan kupu-kupu serasa memenuhi rongga dada, terpaut pada perasaan terpesona yang kini tengah mekar sempurna. Bukan hanya karena Gelora terlihat bak secarik lukisan senja paling indah di taman rumah sakit, tetapi juga karena Brenda merasa Sang Kuasa kini seperti tengah berbisik lembut padanya: Cinta selalu meliputi segala keindahan.

"Hei," sapa Brenda ketika akhirnya telah menghampiri Gelora. Ia kemudian mengambil tempat di sebelah pria itu.

Gelora memulas senyum semringah. Alih-alih menyapa dengan 'hei' yang sama, ia malah menyapa dengan satu elusan sayang yang mendarat lembut di kepala sang residen bedah.

"Gambar apa kamu? Serius banget."

Brenda yang kepalang penasaran kemudian menilik pada lembaran pocket-sketchbook yang masih terbuka di atas genggaman Gelora. Cengiran manis Brenda memperlihatkan jajaran geliginya yang rapi. Setelah mengamati sejenak sketsa artistik itu, pandangan Brenda beralih pada pemandangan yang telah menjadi objek bagi lukisan Gelora.

Sekitar 15 meter dari tempat mereka duduk, pasangan muda-mudi lain ternyata juga tengah berada di taman itu—menikmati tenangnya senja. Yang dilukis Gelora ternyata adalah seorang perempuan muda berambut pendek yang tampak seumuran Brenda, tengah berlutut di depan seorang lelaki yang duduk di kursi roda.

Lagi dan lagi, Brenda merasa kalau Tuhan seperti tengah bicara perihal cinta tatkala gestur dua muda-mudi itu kian terasa hangat di matanya. Ia pun tak heran jika Gelora tertarik untuk mengabadikan mereka dalam sebuah sketsa kilat.

"Itu namanya Mas Hasta," tukas Brenda antusias. Ia akhirnya mengingat nama lelaki berkursi roda yang tadi dilukis Gelora.

"Pasienmu?" tanya Gelora penasaran.

Brenda menggeleng singkat. "Dia itu pasien sekaligus teman lamanya Dokter Hendra, konsulen yang kemarin nunjuk aku untuk jadi asisten satu waktu operasi batu ginjal dua hari yang lalu."

Tenderly (FIN)Where stories live. Discover now