"Bagaimana ceritanya? Tadi aku menemukanmu pingsan di lantai bawah. Beruntung, Brian datang tepat waktu sehingga bisa membawamu ke kamar." Dokter Laluna menggenggam tangan Jovanka dan meremasnya, menyalurkan sedikit tenaganya untuk perempuan yang sedang tak berdaya itu.

Sementara Jovanka mulai menceritakan detail masalahnya. Dari Fiona yang menemukan susu ibu hamil miliknya, sampai dua gadis itu yang melontarkan kata-kata kasar kepada dirinya dan keluar dari pekerjaannya.

Mengingat itu semua, psikis Jovanka terguncang kembali. Ia semakin menangis, dan langsung dipeluk Dokter Laluna sambil mengusap rambutnya penuh kasih sayang.

"Kamu mengalami syok berat. Itu sebabnya psikismu terganggu kembali, Jo."

"Aku benar-benar sendiri sekarang, Dok. Tidak ada orang yang mau mendekatiku, karena tubuhku yang kotor ini. Mereka jijik terhadapku. Mereka membenciku teramat sangat." Tubuh Jovanka bergetar hebat. Ia merengkuh Dokter Laluna erat-erat, sambil menyembunyikan kepala di ceruk perempuan itu.

"Kamu tidak sendiri. Ada aku untukmu. Kamu bisa melewati ini semua, aku yakin itu. Kamu wanita yang kuat. Kamu wanita hebat. Kamu pasti bisa tanpa mereka, Jo. Aku mohon jangan menyerah untuk tetap bertahan hidup." Suara Dokter Laluna menyerak. Ia tidak bisa untuk tidak menangis. Cerita Jovanka begitu menyayat hati. Ia bisa merasakan kesakitan yang perempuan itu rasakan. Meskipun Jovanka melakukan kesalahan, tidak seharusnya orang terdekatnya menghakiminya tidak jelas dan menjauhinya. Yang Jovanka butuhkan sekarang adalah dukungan semangat dari mereka agar tetap waras. Namun, hati dan pikiran orang memang berbeda. Lebih banyak dari mereka yang mengedepankan emosi daripada solusi.

"Aku tidak tahu, Dokter. Aku sudah berusaha untuk kuat, tapi aku terlalu lemah. Aku sudah berusaha mempersiapkan diri jika orang lain tahu tentang kehamilanku, tapi ternyata sangat menyakitkan ini. Aku tidak sekuat itu."

"Ada aku, Jo. Ingat! Ada aku untukmu. Aku mohon tetap berpikir waras. Anakmu masih kuat bertahan untukmu, kenapa justru kamu yang akan menyerah?!" Dokter Laluna tergugu. Ia benar-benar sakit hati rasanya melihat kerapuhan Jovanka. Ia tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi kepada perempuan itu. Apalagi ucapan keputus asaan yang keluar dari mulut Jovanka begitu kentara.

Jovanka tidak menjawab. Ia menangis sejadi-jadinya sambil mengeratkan pelukannya. Setidaknya ia masih beruntung memiliki Dokter Laluna yang mau mengerti keadaannya sekarang.

Sementara Brian yang mendengar penjelasan dan percakapan dua perempuan di depannya, kedua tangannya mengepal kuat. Ia geram, marah, kecewa, dan merasa gagal tidak bisa menjaga sunrise-nya sebaik dulu.  Jovanka yang dulu sangat ceria, tetapi kini telah berubah menjadi Jovanka yang sangat rapuh dan kesakitan.

Apakah ia juga sakit hati? Tentu saja. Teramat sangat malah. Hatinya bagai diremas dan diperas begitu keras melihat Jovanka sehancur itu. Ternyata, waktu yang habis ia lalui sendiri telah mengubah segalanya termasuk Jovanka. Dalam hati, Brian berjanji akan mencari lelaki itu. Menghajarnya habis-habisan, tidak peduli meski yang dimaksud adalah Vincent Fernando seorang pengusaha sukses di negeri ini.

"Kamu harus istirahat. Jangan memikirkan yang tidak-tidak, okay. Aku ada untukmu. Aku akan berdiri untukmu. Apa pun yang terjadi nanti, aku akan selalu ada untukmu." Dokter Laluna mengurai pelukan. Kedua tangannya menghapus jejak air mata yang membasahi seluruh wajah perempuan itu. Sangat hati-hati dan perhatian, ia memperlakukan Jovanka seperti adiknya sendiri.

"Tidur, ya. Biar aku yang merapikan bunga-bungamu di teras untuk dibawa masuk. Aku juga akan di sini menunggumu. Kebetulan, hari ini aku sedang tidak ada jadwal praktik," ucap Dokter Laluna lagi, sambil mengelus rambut Jovanka.

Mengangguk dengan perasaan terharu, Jovanka berucap di sela isakannya, "Terima kasih, Dok. Maaf kalau aku selalu merepotkanmu."

"Aku akan terasa direpotkan kalau kamu mencoba mengakhiri hidup, Jo. Jadi, aku mohon. Tetap bertahan hidup ... untuk anakmu."

Jovanka mengangguk lagi, lalu tatapannya beralih ke arah Brian yang sedari diam. Tatapan lelaki itu dingin, sedangkan wajahnya datar seperti menyimpan dendam.

"Aku ke bawah dulu. Kamu tidur, ya. Kalau aku masuk ke kamar kamu masih menangis, aku tidak mau datang kemari lagi," ancam Dokter Laluna, tentu hanya gertakan saja. Setelahnya ia beranjak. Membetulkan selimut yang menutupi tubuh Jovanka sampai dada, kemudian ia berlalu dari kamar mengajak Brian.

Bukan Jovanka tidak mau menuruti ucapan perempuan bertubuh tinggi semampai tadi. Sepeninggal mereka dari kamarnya, matanya tidak bisa terpejam. Justru bayangan wajah Vincent yang terus menghantuinya. Ia ingin melupakan sejenak rasa kerinduan, tetapi sangat susah untuk dikibaskan dari ingatan. Semakin mengingat, ia semakin benci. Namun sialnya, ia masih sangat mencintai.

Sementara di lantai bawah, Dokter Laluna dan Brian berdiri berhadapan di teras depan. Mereka sama-sama bersedekap.

"Aku harap kamu bisa mengerti keadaan Jovanka. Jangan membencinya seperti yang dilakukan Fiona dan Leoni. Aku tahu, dua gadis itu pasti syok ketika mendengar kabar Jovanka hamil. Apalagi di umur mereka yang masih labil, sangat gampang terpancing amarah," ucap Dokter Laluna, memberi pengertian. Ia baru kenal Brian, tetapi tahu jika lelaki itu memiliki hubungan dekat dengan Jovanka, terlihat dari raut wajah khawatirnya tadi. Namun, entah sebagai apa.

"Aku tidak mungkin bisa membencinya, Dok. Kami sudah sangat dekat sejak di panti dulu. Aku sudah menganggap Jovanka adikku sendiri." 'Juga cinta pertamaku.'

"Jadi, kalian dari panti asuhan yang sama?" tanya Dokter Laluna.

Brian mengangguk. "Aku sudah berada di sana sebelum Jovanka." Senyumnya mengembang, tetapi hanya sebentar. "Dia dibuang oleh orang tuanya di depan panti asuhan waktu masih bayi umur dua bulanan. Dan saat itu juga, aku sudah menyayangi dia, Dok. Tapi, sayangnya kami terpisah ketika umur Jovanka 12 tahun, karena ada keluarga yang mengadobsiku."

Brian menunduk, menatap ujung sepatunya. "Dulu, Jovanka gadis yang kuat meski banyak yang membully. Seperti apa pun keadaannya, dia selalu ceria, tidak pernah menyerah untuk menggapai impiannya. Dan toko bunga ini ...." Ia mengangkat kepala, menatap toko bunga. "Impian Jovanka sejak dulu. Dia sangat menyukai florist dan ingin memiliki toko bunga sendiri. Bahkan, dia sudah berkecimpung dengan dunia florist sejak usia 11 tahun."

Dokter Laluna mengangguk paham. Ada rasa bangga dan kagum dengan kepribadian Jovanka. "Jovanka itu seperti bunga. Siapa pun yang melihat pasti akan tertarik kepadanya. Wajahnya ayu, kalem, dewasa, vibesnya positif sekali. Aku yang perempuan saja langsung nyaman berteman dengan dia." Ia menjeda ucapannya, lalu melanjutkan lagi, "Aku percaya kalau Jovanka wanita yang kuat. Hanya saja sekarang psikisnya sedang terguncang. Mentalnya benar-benar down dan dia butuh dukungan dari orang terdekatnya, Bri."

"Aku akan berusaha membuatnya ceria dan tersenyum kembali, Dok."

Dokter Laluna memandang wajah Brian yang bersih mulus. Tak ada cambang maupun kumis yang biasa para lelaki miliki. "Aku berharap kamu selalu ada untuknya. Dia butuh teman ngobrol, tapi bukan desakan untuk mengakui kesalahannya," ucapnya.

"Aku akan menemaninya di sini."

Dokter Laluna mengangguk. "Ya, tolong jaga dia, Bri. Karena aku tidak bisa setiap hari datang ke sini untuk menjaganya."

"Dokter, tidak usah khawatir." Brian mengembangkan senyum tulusnya, sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana jinsnya.

"Terima kasih."

Menyudahi obrolannya, mereka mulai mengangkat ember-ember berisi bunga untuk dibawa masuk. Ada banyak jenis bunga yang terpajang di depan, dari lily putih, merah, merah muda, dan kuning. Serta bermacam warna bunga krisan, aster, daisy, dan anyelir. Warna-warnanya sangat cerah dan menarik, begitu identik dengan toko florist.

***

***

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
OBVIOUSLY PAIN Kde žijí příběhy. Začni objevovat