prolog

8.9K 618 1
                                    

"kau harus mati menyerahlah, kematian mu akan mengakhiri segalanya." Setelah kalimat singkat bernada dingin itu terucap. Bilah pedang tajam itu menembus tepat pada jantungnya dan membuatnya batuk darah seketika.

Selintas Alessia dapat melihat dengan jelas  kilatan yang terbesit di mata coklat itu dan senyum cemooh yang membingkai wajahnya selalu membuat Alessia lebih sakit dari pedang yang kini menancap di jantungnya.

Bahkan saat sisa kewarasannya ini tertinggal Alessia masih dapat merasakan pelukan yang selalu dirindukannya itu, tetap tidak mengurangi apapun termasuk perasaan cinta yang selalu bersemayam di hati dan ingatannya.

'apakah aku akan benar benar mati? Di bunuh oleh orang yang paling aku cintai dan kini tepat berada dalam pelukannya lagi?"

'haha, sungguh romantis'

Dengan begitu Alessia mengakhiri hidup kesekian kalinya lagi dengan akhir yang sama.

..

Mata lentik itu terbuka dan kembali memandangi sekitar dengan perasaan hampa, jantungnya masih berdetak nyeri kala mengingat pedang panjang itu menembusnya. Alessia masih tidak terbiasa meski sudah merasakannya berkali kali bahkan jika pedang itu menembus seluruh tubuhnya alessia masih tetap tak terbiasa.

Bangkit dari tempat tidurnya, Alessia berjalan menuju meja riasnya berada. Wajah yang sama yang selalu Alessia ingat saat terbangun dari kematiannya itu selalu terasa menyedihkan. Alessia bertumpu pada meja riasnya dan memandangi wajahnya lamat-lamat, bahkan, wajah yang di agung-agungkan sebagai titisan malaikatpun, kalah telak dengan manusia lugu yang hanya tahu cara menangis.

Alessia tidak tertawa, tidak juga menangis, dia hanya lelah. Sungguh sudah kehidupan keberapa yang kini telah dia jalani? Sudah kematian keberapa yang telah dia lalui? Alessia bahkan lupa menghitungnya.

Jadi apa yang kini harus dia lakukan? Pertama-pertama mari kita berbenah. Alessia memanggil para pelayan untuk membantunya dalam bersiap diri. Setelah selesai berbenah Alessia mengambil sebuah surat perceraian yang berada di laci meja diruang bacanya.

Tanpa ragu Alessia menandatangani surat itu. Yang tersisa saat ini hanyalah mendatangi suami tercintanya dan memberitahukan itikad baiknya ini, dengan perlahan dan pikiran yang berkecamuk Alessia berjalan menyusuri lorong menuju ruang kerja sang Duke dan seperti kaset yang diputar berulang-ulang Alessia tahu siapa yang akan ditemuinya di lorong ini.

Seorang gadis dengan pakaian pelayannya berjalan dengan langkah riangnya berlawanan dari arah yang ditempuh Alessia. Sudah jelas sekali habis darimana gadis itu, karna lorong ini adalah lorong satu arah menuju ruang kerja sang duke, yang bahkan para pelayan 'sungguhan' tidak berani dengan sembarang memasukinya. Sungguh luar biasa bukan?

"Ah, selamat pagi duchess, apakah anda ingin menemui tian? Saya baru saja menemuinya tadi, Tian sangat terlihat kelelahan dengan berbagai dokumen-dokumen itu.  Jadi saya pikir, dengan mengajak tian berjalan-jalan ke taman kota akan membuatnya lebih baik, bagaimana menurut anda Duchess?"

Mendengar hal tersebut membuat Alessia menatap datar pada gadis di depannya ini. Entah sudah berapa kali dia mendengar hal tersebut, panggilan sayang dan raut polosnya sudah membuat Alessia muak, sakit hati yang dirasanya tidak bisa mengubah apapun. Menegur atau mengancamnya hanya akan membuatnya menangis dan mempersulit jalan hidupnya. Jadi hal yang paling mudah adalah mengabaikannya.

Alessia memandangi gadis itu dengan raut datar, lalu berjalan melewatinya. Alessia memilih untuk mengabaikannya.

Tok tok tok

"Suamiku apakah kamu sibuk?"

"Tidak kemarilah"

Alessia membuka pintu dengan perlihan, dengan jelas Alessia bisa melihat tumpukan dokumen yang menggunung dan suaminya yang sedang serius membaca dokumen-dokumen itu.

"Sepertinya kamu sedang sibuk." 

Alessia bisa melihat senyum kecil yang tersungging di bibirnya saat lelaki itu mengangkat kepalanya. Dengan ragu Alessia berjalan kearah sofa yang tersedia diruangan itu. Suami yang diingatnya tidak pernah menunjukan senyuman kecil seperti itu.

"Aku tidak sibuk, karena istriku yang sangat jarang menghampiriku kemari lebih penting dibandingkan tumpukan kertas ini."

"Haruskah aku panggilkan pelayan untuk membawakan teh dan beberapa cemilan?"

"Tidak perlu, aku hanya sebentar disini." Sesaat Mata Alessia melirik pintu yang terbuka dan kembali menatap mata coklat suaminya itu lalu tersenyum, seakan peka dengan kode kilat istrinya Sebastian menggunakan sihirnya untuk menutup pintu.

Hening sejenak, pikiran Alessia kembali berkecamuk, mengapa sikap suaminya kini terliaht berbeda dari yang terakhir kali Alessia ingat? Apakah artinya kehidupan kali ini akan lebih menyakitkan? Alessia menunduk tak kuasa menjelaskan maksud kedatangannya kali ini sampai tangan hangat suaminya menggenggam tangannya yang tanpa sadar bergetar.

"Apakah ada yang mengganggumu? Katakanlah aku ada disini mendengarkan."

Nafasnya tercekat saat menatap kembali mata coklat yang kini mengandung kekhawatiran untuknya. Tidak hatinya tidak boleh goyah, jangan kembali goyah karna nanti tangan dan mata itu sering kali membunuhnya.

Mengambil nafas dalam dalam sambil kembali menata hatinya yang kembali goyah.

"Mari bercerai" sudah berapa kali aku mengatakan kalimat itu?

Seperti robot yang sudah terprogram Alessia kembali mengulang kalimatnya

"Suamiku, mari bercerai"

***

Echoes: Dancing with DeathWhere stories live. Discover now