Chapter 19: When We Were Young

19.7K 3.3K 111
                                    

Shania

"Ma, aku juga mengundang Papa."

Penuturan Shaloom membuat langkahku terhenti. Shaloom, yang akhirnya menyadari aku enggak lagi mengikutinya, juga ikut berhenti.

"Tuh, Papa udah datang."

Aku mengikuti lambaian tangan Shaloom. Tidak jauh, aku melihat Aria melangkah dengan santai. Dia selalu tampil kasual, seperti biasanya. Dengan jaket jeans dan celana jeans gelap yang membungkus kakinya dengan pas. Siang ini, dia menambahkan topi yang dipasang terlalu dalam hingga menutupi sebagian wajahnya.

Entah apa yang ada di pikirannya. Bisa-bisanya dia datang ke acara anak SMA, padahal dia paling anti berada di tempat umum. Sekalipun masa jayanya sudah lewat, anak-anak SMA ini pasti menyadari kehadirannya. Meskipun tidak ada wartawan infotainment di sini, bukan berarti dia aman dari buruan kamera. Bisa dipastikan akan ada yang mengenalinya, lalu diam-diam memotretnya, dan dia pun langsung jadi berita.

Aria tidak pernah bertindak gegabah, tapi sore ini dia pasti tidak berpikir jernih. Entah apa yang merasukinya, karena bisa-bisanya mengambil risiko sebesar ini.

Dan juga, dia menarikku ke dalam bahaya risiko itu.

"Anak Papa udah siap buat perform?" Aria mengacak rambut Shaloom, yang disambut erangan protes. Shaloom cemberut, sementara Aria terlihat geli.

Aku berdeham, membuat Aria menoleh ke arahku. Dia pura-pura terkejut, seolah-olah baru menyadari kehadiranku.

"Shania, kamu datang?"

Aku mendengkus. "What are you doing here?"

Aria tampak santai. Dia merangkul pundak Shaloom dengan tenang, dan sepertinya cuma aku yang kelimpungan.

"Nonton Shaloom perform."

Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Anak-anak ini akan mengenalimu, lalu...."

"Calm down, Ma." Shaloom menghentikan ucapanku. "Aku udah telat. Ayo masuk. Jangan berantem di sini."

Seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Ini momen penting bagi Shaloom, enggak seharusnya aku merusak momen ini.

"Wish me luck." Shaloom menatapku dan Aria berganti-gantian sambil meringis.

Ini pengalaman pertamanya dan dia tidak bisa menutupi rasa gugup. Sejak semalam, dia sudah enggak tenang. Shaloom bahkan tidur di kamarku karena enggak bisa tidur saking memikirkan apa yang akan terjadi hari ini.

"Kamu pasti bisa. Ingat apa yang Papa bilang?" tanya Aria. Di saat seperti ini, Aria dan pengalamannya lebih dibutuhkan Shaloom. "Yang penting, kamu harus nyaman. Kamu menyanyi buat dirimu sendiri, kalau kamu sendiri menyukai performance itu, semua yang ada di sini akan ikut menyukaimu."

Aria menujukan nasihat itu kepada Shaloom. Namun, aku merasakan dadaku ikut berdesir.

Melihat Aria saat ini melemparkan ingatanku ke masa tujuh belas tahun silam. Ketika Storm muncul, band sedang berjaya di Indonesia. Ada banyak band lain yang sudah lebih dulu terkenal, dengan personil yang tidak kalah hebat, dan sudah punya basis pendukung yang kuat. Sebagai pendatang baru, tidak sedikit yang meremehkan Storm. Bahkan ada majalah musik yang melabeli mereka 'sekumpulan Barudak Bandung yang cakep dan kebetulan bisa bermain musik' karena penampilan mereka lebih dulu menyita perhatian ketimbang permainan musik mereka.

Lama-lama, Storm membuktikan kalau mereka bukan sebatas sekumpulan pemuda ganteng. Musik mereka terus meningkat. Mereka bukan lagi band yang bisa dipandang sebelah mata. Di saat band lain tidak berhasil mempertahankan eksistensi di tengah perkembangan zaman, Storm masih ada. Sekalipun mereka mengalami pasang surut dan pergantian personil.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن