Chapter 11: The Muse

18.5K 3.5K 107
                                    

Shaloom

Mataku terbelalak saat masuk ke area Gelora Bung Karno. Belum ada apa-apa di sana, kecuali lapangan yang gede banget. Aku pernah ke sini, sewaktu menjadi salah satu penari di pembukaan Asian Games 2018, dan masih amaze dengan lapangan yang gede ini.

Bukan lapangan ini yang membuatku deg-degan setengah mati, melainkan penuturan Om Malik. Papa bilang, dia yang bertanggung jawab terhadap stage di konser 20 Tahun ini. Dari penuturan Om Malik, aku bisa ngebayangin sebesar apa stage itu. Belum lagi permainan lighting yang keren, aku bahkan sudah bisa membayangkan konser ini akan sukses besar.

Aku bergidik, sementara lututku bergetar. Aku sampai harus merangkul lengan Papa erat-erat.

Papa melirikku dengan kening berkerut. Sejak tadi, Papa serius menyimak omongan Om Malik. Sesekali memberikan masukan agar sesuai dengan konsep yang diinginkan.

"Kenapa?"

Aku menggeleng. Papa enggak perlu tahu kalau aku deg-degan setengah mati karena memikirkan akan ikut tampil bareng Papa di panggung segede itu.

Papa bersedekap di depanku, sekarang fokusnya sepenuhnya tertuju kepadaku. "Kamu enggak kepikiran buat mundur, kan?" tebaknya, sambil menahan tawa.

Siapa saja yang ada di posisiku sekarang pasti langsung ciut. Konser ini sudah direncanakan sejak dua tahun lalu, karena menurut Papa dan Om Elkie, dua puluh tahun adalah momentum yang berarti. Apalagi tinggal mereka berdua yang bertahan sejak awal Storm terbentuk. Makanya, Papa dan Om Elkie mempersiapkan konser ini sematang mungkin, di sela kesibukan tur dan pekerjaan lainnya.

Banyak yang menunggu-nunggu konser ini. Tiketnya sudah sold out sejak penjualan dimulai tiga bulan lalu, cuma dalam waktu dua jam. Banyak yang protes karena enggak kebagian, sehingga diputuskan untuk menambah show menjadi dua hari. Itu pun masih banyak yang mengeluh enggak kebagian dan minta dibikin jadi tiga hari.

Antusiasme itu juga membuat lututku gemetar. Selain Storm, nama-nama musisi lain yang terlibat sudah diumumkan sehingga antusiasme semakin menjadi-jadi. Aku enggak berani membayangkan gimana tanggapan mereka saat di tengah konser, tiba-tiba saja aku muncul. Aku bukan siapa-siapa, selama ini cuma suka cover lagu di YouTube. Aku enggak punya modal tampil di panggung besar, cuma panggung kecil di mal waktu TK atau acara sekolah.

Gimana aku enggak panik?

Papa sama sekali enggak membantu. Melihatku panik begini, Papa malah ketawa.

"Panik dia," ledek Papa sambil menunjukku.

Om Elkie juga ikut tertawa, membuatku semakin cemberut. "Santai aja, Sha. Anggap aja ini lagi nyanyi di acara sekolah."

Aku mendelik. "Terakhir kali aku tampil di acara sekolah itu kelas enam SD, Om," balasku, membuat tawa Om Elkie makin menjadi-jadi.

Sekarang semua orang memperhatikanku. Aku cuma bisa menunduk, enggak berani melihat tanggapan mereka. Gimana kalau mereka sebenarnya enggak setuju, tapi diam aja karena ini keputusan Papa? Sebagai pendiri, Papa memang punya pengaruh besar dalam setiap keputusan Storm, jadi kalaupun ada yang enggak setuju, mereka enggak bisa protes karena Papa yang memintaku untuk ikut tampil di konser ini.

Papa merangkul pundakku, dan aku refleks meringkuk di pelukannya.

"Kalau kamu latihan yang benar, Papa yakin kamu bisa." Papa berusaha menenangkanku.

"Yang nonton pasti bakal banyak banget, gimana kalau aku malah bikin malu? Bukannya nyanyi, malah bengong di stage? Atau jatuh? Papa, kan, tahu aku suka jatuh." Aku menggeleng kencang, berusaha melupakan semua kekhawatiran itu.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Where stories live. Discover now