Ch. 9: Could You Give Me a Simple Dinner?

17.1K 3.9K 119
                                    

Shania

"Sorry, harusnya aku mengetuk pintu dulu."

Aku sedang meregangkan tubuh untuk mengusir lelah dan mengendurkan otot-otot yang tegang ketika pintu ruang praktik dibuka. Dengan kedua tangan terangkat di atas kepala, aku menatap sosok yang berdiri di pintu.

Aria. Apa yang dia lakukan di sini?

"Kamu ngapain di sini?"

"Butuh facial?" Aria menjawab santai.

Aku mendengkus. "Kamu bisa cari dermatologi lain, jadwalku padat."

Aria tertawa kecil. Dengan santai dia menempati kursi yang seharusnya ditempati oleh pasienku setiap kali berkonsultasi.

"Tangannya bisa diturunin dulu, Shan."

Aku mengikuti arah tatapannya dan tersadar akan tingkah konyolku. Sejak tadi aku masih mengangkat kedua tangan saat bicara dengannya. Sambil mengalihkan wajah agar dia tidak menangkap pipiku yang memerah karena malu, aku pura-pura mengambil ponsel.

Ada pesan dari Shaloom yang memberitahu dia pulang sore karena membuat tugas bareng Rana di sekolah. Aku melirik jam, dan menghitung cepat waktu tempuh dari Menteng ke Tebet. Masih sempat untuk menjemput Shaloom.

Sejak kejadian Shaloom dikerubungi wartawan, aku tidak bisa tenang melepasnya sendiri. Ketika mengantarnya ke sekolah, masih ada wartawan yang menunggu meski berusaha untuk berbaur.

Menjalin hubungan dengan Aria membuatku bisa mengenali sosok wartawan, sekalipun mereka sedang menyamar. Gerak gerik wartawan terasa out of place, termasuk tukang parkir dadakan di depan sekolah Shaloom tadi pagi. Dari caranya melirik Shaloom, aku bisa merasakan aura wartawan dari sosok tersebut.

Bukan hanya wartawan yang mengancam Shaloom, tapi setiap orang seolah bisa berubah menjadi ancaman. Setiap tindak tanduk Shaloom bisa disalah artikan, dan akan sangat mudah disebarluaskan.

Ini yang menjadi kekhawatiranku. Aku ingin Shaloom tumbuh sebagai remaja normal, tidak perlu mengkhawatirkan setiap gerak geriknya. Dulu aku pernah berada di posisi itu, padahal saat itu kondisinya tidak seperti sekarang. Tetap saja, namaku menjadi komoditas menggiurkan untuk dibicarakan di forum online. Aku dan Aria sudah berusaha menyembunyikan identitasku, juga hubungan kami, entah dari mana para manusia kurang kerjaan di forum itu mendapat informasi. Mereka bicara seenaknya, seolah paling kenal denganku dan Aria, dan setiap komentar yang ditinggalkan sangat menyakiti. Mereka berlindung di balik anonimitas, para keyboard warrior yang tidak peduli jika ada orang lain yang tersakiti karena komentar mereka.

Lalu, wartawan haus berita yang asal mengambil informasi tanpa konfirmasi lebih jauh, semakin membuatku terpuruk.

"Kalau kamu enggak punya urusan penting, aku mau pulang."

Aria ikut bangkit dari duduknya saat aku berdiri lebih dulu. "Kebetulan, aku mau mengajakmu dan Shaloom makan malam."

Tanganku yang sedang membereskan meja mendadak berhenti saat mendengar ucapan Aria.

"Could you explain to me what's exactly going on right now?" tanyaku.

"Aku cuma mau mengajak kalian makan malam, Shania." Aria menjawab enteng.

Aku memejamkan mata untuk mengontrol napas agar emosiku tidak terpancing. Aku sendiri tidak tahu kenapa terpancing emosi seperti ini, padahal Aria tidak melakukan sesuatu yang membuatku jadi meradang.

Ajakan makan malam itu seharusnya terdengar sederhana, kalau tidak keluar dari mulut Aria.

"Kamu tahu maksudku. Kalau saja kamu lupa, seharusnya kamu tidak sering-sering bertemu Shaloom. Kamu cuma punya waktu dua kali setahun, tapi aku sudah memberi kelonggaran dan mengizinkan Shaloom terlibat di konsermu," balasku panjang lebar.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Место, где живут истории. Откройте их для себя