Chapter 14: Come Together

18.5K 3.4K 177
                                    

Aria

"Baby..." bisikan Jelitha membuat perutku mual. Aku benci jika ada yang baby talk di depanku, bersikap manja yang malah membuatku muak.

Aku menghentikan tangan Jelitha yang bergerak membuka celanaku, tapi dia tidak peduli. Jelitha berlutut di depanku, mendongak menatapku dengan raut wajah manja yang aku yakin membuat lelaki mana pun akan besar kepala, lalu menyerah dengan mudah di depan wajah cantik itu.

"Aku lagi enggak mood," balasku.

Jelitha kembali memberengut. "Kita sudah lama enggak ketemu, kamu enggak kangen?"

Enggak lama versi Jelitha adalah dua hari. Maksimal tiga hari. Aku enggak mungkin akan merindukan seseorang dalam waktu secepat itu.

Kecuali Shania. Dulu aku bisa langsung merindukannya padahal baru berpisah tidak sampai satu hari. Rasanya ingin membawa Shania di setiap acara yang kujalani, memastikannya ada di setiap tur atau konser, melihatnya di baris terdepan meneriakkan namaku. Aku ingin Shania selalu bersamaku, karena dia membuatku berfungsi jauh lebih baik ketimbang saat berjauhan dengannya.

Kali pertama aku mengenal rindu, ketika berada di Semarang untuk konser dan Shania tidak bisa ikut. Saat itu, kami baru dekat. Tidak sampai seminggu setelah aku menjemputnya untuk makan malam. Rasa rindu yang kumiliki begitu membuncah, membuatku mengambil penerbangan terakhir malam itu untuk kembali ke Jakarta, diikuti ledekan Elkie yang tidak kupedulikan, dan protes Mas Sony yang kuabaikan.

Aku cuma ingin bertemu Shania.

Dari bandara, aku ke rumahnya. Aku langsung memeluknya begitu dia membukakan pintu. Malam itu, aku memintanya menjadi pacarku.

Shania bukan perempuan pertama dalam hidupku, tapi dia yang membuatku berani mengakui telah jatuh cinta. Shania dengan kesederhanaannya, membuatku ingin menjadi yang terbaik untuknya.

Bersama Shania membuatku berhenti menjadi laki-laki egois. Aku selalu menempatkan Shania dalam setiap hal yang kulakukan, karena aku ingin Shania bangga kepadaku. Dia calon dokter, ada banyak laki-laki lain di luar sana yang menyukainya, dan aku cuma lulusan SMA yang kebetulan berbakat di musik. Aku tidak bisa mengimbangi otak pintar Shania. Hidupku terlalu berbeda dengan Shania. Sedikit saja kesalahan yang kuperbuat, akan membuat Shania lepas dari tanganku.

Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Shania. Kalau bisa, aku ingin dia selalu ada di sampingku.

"Aku enggak bisa bolos kuliah. Jadi, kamu harus terima kalau aku enggak bisa ikut kamu ke mana pun," tolaknya, ketika aku kembali merajuk agar dia menemaniku tampil di acara ulang tahun SCTV.

Itu juga alasanku merahasiakan Shania. Dia terlalu istimewa. Aku tidak mau dia menjadi bulan-bulanan media yang tidak pernah lelah merecoki kehidupanku. Shania bisa menempatkan diri, termasuk menghadapi popularitas, tapi aku tidak ingin dia mendapat beban baru akibat popularitas yang kumiliki.

She was my precious little secret. Aku tidak ingin dunia tahu tentang Shania, cukup aku saja.

Sekarang, kalaupun aku harus jujur kepada diri sendiri, bukan Jelitha yang kurindukan. Melainkan Shania.

Apa dia sudah mendengar lagu yang kukirimkan?

Shania memang melonggarkan waktu untukku bertemu Shaloom. Semula kupikir itu akan membuatku sering bertemu dengannya. Namun, Shania masih jauh. Dia setuju dengan sopir yang kukirim untuk mengantar jemput Shaloom, dan aku menyesali keputusan itu karena tidak ada alasan untuk bertemu Shania.

"I miss you, Baby."

Aku tersentak saat mendengar suara manja Jelitha. Aku menunduk dan melihatnya menggenggam kejantananku sembari menjilatinya. Dia melirikku dengan tatapan penuh nafsu, tapi aku tidak merasakan apa-apa.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Where stories live. Discover now