Chapter 3: Falling in Love with Mr. Superstar

25.9K 4.6K 119
                                    

Shania

Aria Daniel.

Dia ada di mana-mana. Di televisi, di radio, di media cetak, bahkan billboard yang ada di jalanan pun memajang wajahnya.

Storm langsung meledak begitu merilis album pertama, November. Single pertamanya, Kekasih atau Sahabat, merajai chart. Lagu itu diputar di mana-mana, enggak cuma di televisi dan radio, juga diputar di semua tempat umum. Bahkan menjadi lagu wajib para pengamen di bis kota. Aria, Satria, Tito, Janu, dan Elkie. Mereka jadi idola. Semua cewek-cewek mengidolakan mereka. Cowok-cowok mengagumi mereka. Di antara mereka, Aria yang paling menonjol. Sebagai frontman, dia memang karismatik. Wajah tampan, suara merdu, dan piawai bermusik. Cukup menjadi modal untuk digilai.

Aku bertemu Aria saat dia berada di puncak popularitas setelah album keduanya, Bandung 2002, meledak di pasaran. Aku ikut tergila-gila kepada Storm dan menjadi seorang Stormy--sebutan untuk fans Storm. Tentu saja, aku juga menjadi seorang Arian, sebutan untuk penggemar Aria. Sebagai seorang penggemar, aku sering menonton aksi mereka.

Bersama dua orang temanku, Celia dan Dinda, kami jadi Stormy garis keras. Kami selalu menonton di barisan paling depan. Menikmati Storm secara live jauh lebih mengasyikkan ketimbang mendengarkan di radio atau menonton di televisi. Suara Aria terdengar lebih rough, tidak sesempurna saat rekaman, tapi justru lebih tulus. Dia enggak punya aksi panggung yang heboh. Gayanya juga simple. Tapi karismanya di atas panggung jelas enggak bisa dibantah. Dia begitu menghipnotis. Meski enggak banyak gerak, Aria mampu membuat siapa pun terpukau dan enggak bisa mengalihkan tatapan ke arah lain.

Dan menjeritkan namanya sampai suara habis.

Aku memang mengidolakannya, tapi enggak pernah berharap bisa berkenalan dengannya. Apalagi menjadi pacarnya. Meskipun aku menuliskan namanya sebagai cowok idaman dan berkhayal menjadi pacarnya, itu cuma ada dalam khayalan. Aria si Superstar tentu enggak akan pernah melirik cewek biasa sepertiku.

Namun takdir berkata lain.

Aria menyadari kehadiranku. Mungkin karena selama ini aku selalu menonton di baris paling depan. Sesekali dia tersenyum ke arahku, tapi aku enggak mau geer. Ada banyak cewek di sekitarku yang juga mengidolakannya. Bisa saja Aria tersenyum kepada salah satu di antara mereka.

Suatu hari, seorang sekuriti menahanku. Katanya, aku diminta ke backstage. Ditemani oleh Dinda dan Celia, kami ke backstage dan mendapati kalau yang ingin bertemu denganku adalah Aria.

Aku cuma bisa bengong.

Dia mengajakku berkenalan dan meminta nomor teleponku.

Semuanya begitu mendadak. Aku merasa berada dalam mimpi. Aku baru sadar kalau ini bukan mimpi ketika keesokan harinya ada yang meneleponku dan memperkenalkan diri sebagai Aria. Aku baru benar-benar sadar ini semua nyata ketika Aria menjemputku ke kampus dan mengajakku makan malam.

Later that I knew I fell in love with him.

Itu tujuh belas tahun yang lalu.

Sekarang, saat melihat dia tersenyum kepadaku, seakan melemparkanku ke momen ketika dia tersenyum untuk pertama kalinya dari atas panggung.

Meski wajahnya mulai dimakan gurat usia, pesona yang dimilikinya masih tetap sama. Meski kini dia bukan lagi pria muda di awal dua puluhan ketika aku berkenalan dengannya dulu, Aria tumbuh menjadi pria dewasa yang makin menghipnotis. Menginjak usia empat puluh tahun, Aria semakin memukau. Ada banyak musisi bermunculan, tapi Aria berhasil mempertahankan spotlight yang dimilikinya.

"Shan."

Aku terkesiap ketika merasakan sentuhan lembut di lengan. Aku terlalu larut dalam lamunan sampai tidak menyadari kalau Aria tengah berbicara kepadaku.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Where stories live. Discover now