Chapter 2: The One That Got Away

27.3K 4.7K 146
                                    

Shaloom

"Kamu pulang sekarang." Itu chat dari Mama yang enggak kubalas.

Ugh, sejak kapan Mama jadi menyebalkan begitu? Well, kalau dipikir-pikir Mama memang otoriter. Mama punya banyak larangan yang membuatku merasa dikekang. Mama juga sering mengambil keputusan sendiri dan aku enggak punya kesempatan buat ngasih masukan.

Misalnya, keputusan pindah ke Jakarta. Tiba-tiba banget. Mama memberitahu kalau kami akan pindah ke Jakarta, dan tahu-tahu saja aku saja aku sudah didaftarin di sekolah baru. Padahal aku suka di Yogya. Aku punya teman-teman yang asyik. Aku bahkan sudah punya rencana buat ngerayain sweet seventeen, tapi semuanya buyar karena keputusan sepihak Mama.

Belum lagi soal larangan Mama yang enggak ada habisnya. Larangan pulang malam, larangan liburan bareng teman, dan terakhir, Mama melarangku ikutan audisi ajang pencarian bakat di TV. Padahal Mama tahu aku suka banget nyanyi, tapi Mama enggak mendukung cita-citaku jadi penyanyi.

Satu-satunya yang membuatku sedikit senang saat pindah ke Jakarta, kesempatan buat mewujudkan cita-cita jadi makin terbuka. Aku pikir Mama akan melunak. Ternyata sama aja, Mama sama sekali enggak mau mendengarkan alasanku.

Mama memang enggak bilang, tapi penolakan itu pasti ada hubungannya sama Papa.

Ayahku musisi ternama. Aku memang cuma bertemu dua kali setahun sama Papa, tapi aku kenal banget siapa ayahku itu. Semua orang di Indonesia mengenalnya. Papa sudah ngeband sejak SMA dan album pertamanya meledak waktu Papa berumur dua puluh tahun. Papa langsung jadi idola. Cewek-cewek menyukainya, cowok-cowok mengaguminya. Bahkan sampai sekarang, teman-temanku aja ngefans sama Papa. Ada banyak band lain bermunculan, tapi Papa dan Storm masih eksis.

Harusnya Mama enggak heran kalau aku suka nyanyi dan punya suara bagus. Aku, kan, anaknya Aria Daniel.

Tapi, Mama enggak mau peduli.

Makanya aku kesal banget sama Mama. Aku sudah merekam video sedang menyanyi buat kebutuhan audisi, tapi ketahuan. Mama menghapus video itu dan aku enggak punya back up. Menurutku Mama udah kelewatan, makanya aku kabur dari rumah.

Ada untungnya sekarang kami di Jakarta, jadi aku punya tempat tujuan buat kabur.

Ke rumah Papa.

Papa beda banget sama Mama. He's a cool dad. Pantas banyak yang mengidolakan Papa. Dan, yang paling penting, Papa mengerti soal keinginanku. Papa malah menawarkan diri buat membantu, jadi aku enggak perlu ikut audisi itu. Papa bisa jadi produserku.

Segampang itu. Tapi, yang bikin ribet ya Mama.

"Jadi, kamu Shaloom?"

Tanganku yang sedang memetik gitar mendadak berhenti. Aku mendongak dan bersitatap dengan seorang perempuan bertubuh mungil tapi punya wajah galak. Dia menatapku dengan ekspresi datar, tapi tatapannya menilaiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Aku enggak tahu siapa dia. Jangan-jangan dia pacarnya Papa?

Ayahku itu dikenal playboy. Aku aja sampai enggak hafal siapa aja yang pernah jadi pacarnya. Kalau dipikir-pikir, Papa beda banget sama Mama. Makanya aku enggak habis pikir, kenapa mereka sampai menikah? Mereka kayak langit dan bumi. Air dan api. Papa cool, Mama nyebelin.

"Saya Dre. Manajernya Aria." Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Kamu jago juga main gitarnya."

Papa yang mengajariku main gitar, waktu aku berusia tujuh tahun. Di ulang tahun kedelapan, Papa memberi kado gitar. Sejak saat itu, aku bercita-cita mau jadi penyanyi.

"Hi, Mbak Dre. Sorry ya jadi ribet karena gosipnya."

Dre tertawa, membuat wajahnya enggak lagi kelihatan galak. Kayaknya dia asyik juga.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Where stories live. Discover now