Chapter 16: Two Faces

16.6K 3.6K 141
                                    

Shaloom

"Bentar, deh. Ini tuh enggak masuk kalau kayak gini." Aku menghentikan sesi latihan. Sejak tadi aku enggak merasa menyatu dengan Gala. Kami seolah menyanyikan dua lagu berbeda yang dipaksa jadi satu.

Satu per satu, anggota The Bandits berhenti memainkan alat musik. Mereka sudah berusaha mengimbangiku dan Gala, tapi dilihat dari ekspresi mereka saat ini, terlihat kalau mereka juga enggak sreg dengan lagu yang barusan kami bawakan.

"Menurut gue, aransemennya mesti diubah, deh. Soalnya yang versi ini cuma buat vokal Gala aja, bukan buat duet."

Raja menatapku tajam. Dari semua anggota The Bandits, dia yang terang-terangan menunjukkan permusuhan. Aku bisa maklum, karena aku masuk ke band ini di tengah-tengah. Kalau aku jadi Raja, aku juga kesal.

"Lo cuma featuring, jadi ikutin aja." Raja berkata dingin.

"Kalaupun featuring, enggak nyatu juga, Kak," balasku.

Kayaknya aku cuma buang waktu aja di sini. Gala bersikeras mengajakku ikut, tapi Raja jelas-jelas menolak. Selain itu, latihan ini enggak pernah bergerak maju. Kami stuck di tempat, karena lagu yang sudah selesai enggak bisa mengakomodir dua vokalis.

"Enggak usah sok tahu. Kita bikin lagu ini udah lama, sebelum lo gabung."

"Gue enggak sok tahu, cuma ngasih saran biar lagunya lebih bagus."

"Alah, ribet lo jadi cewek."

Aku pasti sudah kayak kepiting rebus karena tersinggung dengan ucapan Raja barusan. Kalau aja dia mau mencoba dengerin saran orang lain, aku enggak bakal ribet begini.

"Ja, udah. Jangan kasar sama Shaloom. Kita coba sekali lagi, ya." Gala menengahi.

Raja melontarkan tatapan permusuhan kepadaku. "Enggak usahlah duet. Sebelumnya juga kita baik-baik aja tanpa cewek ribet ini."

"Eh gue enggak ribet ya, lo tuh tambeng enggak mau dengerin orang."

Gala kembali menengahiku dan Raja, sementara teman-temannya memilih buat enggak ikut campur.

"Kita coba sekali lagi, kali ini coba idenya Shaloom," putus Gala.

Raja menggeram kesal, tatapannya seolah ingin menelanku hidup-hidup. Kalau begini caranya, aku enggak yakin bergabung dengan band ini adalah keputusan tepat.

Mungkin sebaiknya aku memberi kesempatan sekali lagi, kalau hasilnya masih sama saja, lebih baik aku mundur. Enggak masalah kalau batal tampil di pensi, jadi aku bisa fokus ke konser Papa.

Papa setuju dengan keputusanku, Menurut Papa ini bagus untuk menambah jam terbang. Papa bercerita kalau dulu dia sering manggung dari cafe ke cafe, dan itu melatih mental dalam menghadapi beragam karakter penonton. Makanya Papa terbiasa ketika akhirnya tampil di panggung besar.

Kalau serius dengan cita-citaku, aku harus memulai dari bawah. Bukan berarti aku melakukannya dengan terpaksa. Mungkin jalanku bukan The Bandits.

Akhirnya kami mulai berlatih, kali ini sesuai ide yang kuberikan. Hasilnya enggak begitu bagus, tapi setidaknya aku dan Gala punya porsi yang pas. Enggak lagi berebut part kayak tadi.

Jujur, aku masih belum puas. Semoga Raja mau melunak dan mendengarkan saran orang lain.

"Kita lanjutin minggu depan. Not bad sih yang terakhir," ujar Gala, yang disambut geraman Raja.

Mereka masih mau berlatih lagu lain, sehingga aku berpamitan. Papa sudah menunggu, jarang-jarang Papa bisa menjemputku jadi aku enggak mau membuang waktu Papa.

Dari balik punggung, aku melihat Gala mengikutiku. "Sorry ya soal Raja," ujarnya.

"Gue ngerti kalau dia kesal lagunya diubah gitu aja, tapi dia keras kepala banget," omelku.

Gala terkekeh. "Raja emang gitu, tapi dia mau kok ngalah demi The Bandits. Raja sayang banget sama band ini."

Aku enggak pernah tergabung dalam band sebelumnya, tapi apa yang kulihat dari interaksi Papa dan teman-temannya, juga Papa yang rela melakukan apa saja untuk menyelamatkan band ketika berada di ambang kehancuran, aku bisa mengerti sikap Raja.

Kecuali, sikapnya yang sengak itu.

"Eh, lo ikut The Next Idol enggak, Sha?"

Sontak aku mengerang. Dulu aku pengin banget ikutan, bahkan sudah merekam video buat audisi. Tapi, Mama keburu menghapus video itu.

"Kak Gala ikutan?"

Gala mengusap lehernya. Sesaat dia tampak ragu. "Pengin, sih, tapi gue enggak yakin."

"Itu, kan, solo, Kak."

"Itu dia." Gala menunjuk ke balik punggung, maksudnya menunjuk ke arah studio. "Gue udah telanjur kontrak mati sama mereka."

Aku enggak tahu maksudnya apa. Lagian, ini cuma band sekolah. Enggak ada kontrak yang mengikat.

"Tapi kayaknya gue tetap ikut, sih. Gue pengin banget rekaman, mau solo atau band ya terserah." Gala mengibaskan tangannya, terlihat tidak peduli.

Aku bisa melihat sosok Gala yang ambisius, sehingga tidak peduli jika keputusannya sangat egois. Dengan mengikuti ajang itu, artinya dia enggak peduli dengan kelanjutan The Bandits. Sejenak aku merasa kasihan dengan teman-temannya, kecuali Raja yang lain cukup menyenangkan.

"Eh, kapan-kapan kita bikin video yuk. Upload di YouTube, siapa tahu viral. Lo kan lagi diomongin." Gala terkekeh.

Aku tersenyum kaku. Setelah dipikir-pikir, sudah lama sejak terakhir kali mengunggah video di YouTube atau di Instagram.

Ajakan itu sebenarnya biasa saja, kalau Gala enggak menyinggung soal aku yang viral. Dia terkesan bercanda, tapi aku malah curiga dia punya niat lain.

Mislanya mendompleng namaku? Maksudku, mendompleng nama Papa.

"Eh gue udah punya tiket konser bokap lo. Mau nonton bareng?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Mau nonton sama Mama."

"Oh, VIP pasti, ya," tebaknya. "Nanti ajak gue ke backstage dong. Gue pengin banget ketemu bokap lo. Bokap lo, kan, juri tahun lalu. Kalau bisa gue mau nanya-nanya, kali aja dia bisa bantuin gue."

Sesaat, aku ingat peringatan Rana. Semula aku pikir kelewat geer, tapi sekarang aku mengakui kalau Rana ada benarnya. Aku diajak gabung dengan The Bandits bukan karena kemampuanku, tapi Gala punya keinginan lain di baliknya.

"Jadi ini alasan Kak Gala ngajak gabung The Bandits?" tembakku.

Gala tampak makin salah tingkah. Dia mengusap rambutnya, sama sekali enggak berani membalas tatapanku.

"Enggak gitu. Gue ajak lo gabung karena emang butuh vokal cewek," dia beralasan. Kalau memang butuh vokal cewek, memangnya enggak ada murid cewek yang jago nyanyi?

Mama pernah memperingatkan, akan ada yang menarik keuntungan dariku. Selama ini aku pikir Mama mengada-ada, tapi melihat Gala membuatku menyesal enggak dengerin perkataan Mama.

Yang pasti, aku enggak akan mau dimanfaatin oleh Gala. Kalau dia memanfaatkanku, aku juga bisa memanfaatkannya. Aku ingin tampil di Pensi itu, dan The Bandits bisa membuatku tampil di sana.

Aku tersenyum. "Gue enggak yakin, Kak. Papa sibuk banget."

Enggak sepenuhnya bohong, Papa memang sibuk mempersiapkan konser.

"Kalau bokap lo bisa, kabarin gue ya."

Aku mengangguk, semata agar Gala enggak mendesak. Enggak tahu aja dia kalau sekarang Papa menunggu di depan rumahnya.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Where stories live. Discover now