"Ini apa," Mutia menatap horor suaminya.

"Mau mandi bareng?" tanya Heaven, dan seketika dibalas tatapan sinis oleh Mutia.

"Gak ada acara mandi bareng lagi. Aku gak bakalan mau." Dengan gerakan tergesa Mutia langsung menuju ke kamar mandi.

GRAP

"Pelan pelan."

Jika tidak sigap, mungkin perempuan keras kepala itu sudah jatuh terpeleset dikamar mandi.

Mutia melepas depakapan Heaven dengan gerakan kasar, "Udah! Memang siapa sih yang gak pelan pelan. Makanya kamu gak usah kaya gini, aku- aku lagi," Mutia tak melanjutkan ucapannya, air mata lah yang akhirnya menjawab betapa sedang kalut pikirannya.

"Gue mandiin, gak usah ngebantah."

"Gak mau! Cowok pembohong kaya kamu gak bisa dipercaya. Semestinya dari kemarin aku tahu kamu pasti gak sesuai sama ucapan kamu."  Dengan napas yang memburu, tangisnya pecah lagi. Tak sampai disitu, setelah berbicara dengan nada tinggi, tangannya terus mencakar dada bidang suaminya. Tak ketinggalan giginya pun ikut andil menggigit pundak. Perempuan itu benar benar meluapkan semuanya.

Kesakitan, Heaven sama sekali tidak bereaksi, dia justru memasang badan rela menjadi samsak kemarahan istrinya.  Sampai saat Mutia sadar terlalu berlebihan ia pun berhenti sendiri. Menatap sendu sang suami yang berdiri tegap tanpa membalas apapun.

"Pembohong," cibirnya sesegukan.

"Mandi, perempuan hamil gak bagus mandi terlalu malam," cowok itu tak memperdulikan kemarahan istrinya, tangannya sibuk membuka kancing baju dan menyiapkan handuk bersih.

Mutia tertegun setelah Heaven keluar kamar mandi. Nyatanya cowok itu tidak balas mengamuk padahal tubuhnya penuh cakaran kuku dan pukulan brutal efek kemarahan perempuan itu.

Penyebab marah, intinya sekarang pikiran Mutia kacau. Mau dijelaskan juga tidak mudah dipahami penyebab marahnya apa.

Ceklek.

Heaven yang tengah duduk disofa pun menoleh. Sengaja Mutia membuang muka tak mau menatap. Sumpah sekarang menatapnya saja kesal. Padahal Heaven sudah menaruh perhatian lebih padanya.

Hati hati. Anak lo berpotensi mirip papanya.

Heaven

"Bisa ambilin celana gak, Yang?" ucap Heaven tengah berdiri menghadap lemari, dengan hanya mengenakan handuk yang dilingkarkan dipinggang.

"Cari sendiri, punya tangan dan mata, gak buta sekaligus pincangkan," sewot Mutia tanpa melihat kearah suaminya.

"Oke, it's not a problem," Heaven mengangguk anggukan kepalanya dan berusaha mencarinya sendiri. Kalau diukur sabarnya seorang Heaven Higher mungkin sudah bebanyak orang tekena virus.

Saat Heaven membuka lemari, Mutia akhirnya pun mendekat. Mengingat bahwa cowok itu tidak tahu tata letak pakaiannya, nanti berujung dia yang repot sendir, sebelum sebelumnya memang Mutia lah yang menyiapkan pakaian yang akan dikenakan.

"Jangan berantakan dong, aku capek beresinnya," sewot Mutia sambil mengambil jeans hitam lengkap dengan setelan kaos hitam  yang menggantung di hanger.

Tanpa sepatah kata pun tiba tiba cowok itu memeluk tubuhnya dari belakang, mengunci agar tangannya tidak membrontak.

"Marahnya udahan, gue gak bisa lebih sabar dari ini, terus terusan kaya gini takutnya nanti gue kelepasan nyakitin lo," ucapnya dengan suara berat. Lalu membenamkan kepalanya ke pundak kecil perempuan yang tengah dipeluknnya.

HEAVENWhere stories live. Discover now