Bab 12 : Lamaran Anin Marel

Beginne am Anfang
                                    

"Lan, gue tampol ya lu?"

"Jangan gitu, Lan. Jangan samain Mas El sama El anaknya Bunda Maya, soalnya speknya beda," ujar Caca

"Iya Mas lebih ganteng kan dibanding El adiknya Al?"

"Dih kata siapa? Yang ada mah El terlalu baik disamain Mas El," sambar Dilan yang dibalas jitakan Mas El. Dilan kesakitan, Caca yang bahagia. Melihat adiknya tidak lagi murung, Dilan dan Mas El sama-sama meresa lega. Setidaknya senyum Caca kini terbit setelah mendung seharian kemarin.

"Caca sama Dilan makan dulu, kalian belum makan dari pagi tadi loh!" ujar Tante Gita alias Mama Dilan.

"Iya, Te. Caca abisin es krim dulu."

"Gue ambilin ya, Ca. Takutnya sepupu lain pada ngabisin ayam kecap."

"Gih, gue nggak pake bihun ya!"

"Siap kanjeng nyai."

Dilan pergi ke prasmanan dan kembali membawa dua piring nasi. Untuk dirinya dan untuk Caca.

"Lo nggak kira-kira ya ambil nasi?" omel Caca saat melihat banyaknya nasi yang Dilan ambil.

"Kan Lo kuli, porsi makannya harus double."

"Dilaaannn, sumpah gue nggak mau tau ini nasi Lo ambil sebagian! Gue nggak abis, Dilan!"

"Lemah Lo, makan banyak aja nggak sanggup. Bilang aja Lo diet kan?"

Caca tak menjawab, dia malah menuangkan sebagian nasi itu ke piring Dilan.

"BUSET CA INI MAH SEMUANYA LO TUANG KE PIRING GUEE!"

"Bodo!"

***

Keluarga Marel datang. Papa Marel sudah lama meninggal, jadi yang menggantikan posisi Papanya adalah Adik laki-laki dari Papa Marel, Om Darma. Dia datang membawa istri dan anaknya juga.

"Kedatangan kami kesini untuk meminang putri Bapak Dhanu yang bernama Anindya Kartika Dhanu untuk putra kami Marelino Baskoro," ujar Om Darma.

Ayah tersenyum, "Kami menyambut dengan baik niat keluarga Marel. Jujur untuk niat baik ini sangat kami nantikan, Pak."

"Kalau begitu, sudah resmi toh?"

"Belum atuh Pak, kan semuanya melalui persetujuan perempuan yang dipinang," sahut Bunda. "Ca, panggil Mbak Anin ke sini ya."

"Kok-, hm, Caca panggil."

Caca ingin protes namun tidak bisa. Harusnya dia tidak di sana saja, kalau bukan paksaan dari Dilan, Caca mungkin sudah kabur ke kamar atau duduk di luar. Terpaksa dia melangkahkan kakinya menuju kamar sang saudari perempuannya.

"Mbak kata Bunda Mbak udah boleh keluar," ujar Caca. Alih-alih mendengar jawaban, Caca malah melihat Kakaknya itu terdiam duduk di atas ranjang.

Lagi-lagi Caca terpaksa masuk lebih dalam ke kamar Anin. "Mbak?"

Caca dikejutkan dengan pelukan tiba-tiba Anin. Dia mendengar isakan kecil dari bibir Mbaknya itu.

"Mbak kenapa nangis?"

"Ca, Mbak minta maaf."

"Maksud mbak?"

Caca panas dingin mendengar kata maaf tiba-tiba dari Anin, bukan apa-apa, tapi pikiran Caca malah mengatakan bahwa Anin tau sesuatu yang seharusnya tidak dia tahu. Dan itu mengenai perasaan Caca pada Marel. Apa jangan-jangan dia tau?

Three Little WordsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt