Bab 29

19.1K 777 42
                                    

Di dalam bilik kamar, Sesil berulang kali mengumpat kenapa ia tak sempat berpikir untuk membeli kartu baru nyatanya seperti saat ini keadaan yang harus ia terima, berada di sebuah pedesaan yang terpencil sudah pasti susah sinyal itu menjadi hal yang biasa, Sesil terus menerus menggoyang-goyangkan gawai miliknya berharap jika jaringan internet masuk ke dalam gawainya, Sesil begitu khawatir karena direct massage yang ia kirim untuk Lion rupanya gagal terkirim, bodohnya ia baru menyadari setelah tujuh hari berada di rumahnya.

"Ya Tuhan, aku mohon biarkan pesan ini terkirim." Begitulah Sesil, dadanya selalu gemetar, kedua matanya selau mewaspadai keadaan sekitar, "Kami tidak mungkin berada disini dengan waktu cukup lama."

"Apa kamu baik-baik saja Sesil?" Dari arah dalam Prao masuk dari celah pintu yang tak tertutup rapat, "Kamu kenapa? Nampak khawatir begitu?"

Sesil segera menggeleng, wanita itu kembali memasukkan gawai miliknya kembali masuk ke dalam tas, dan merengkuh lengan Prao. "Apa anakmu lapar? Bagaimana kalau kita masak? Makanan tradisonal itu tak kalah enak dengan makanan modernmu bahkan lebih banyak gizinya."

"Kamu meledek hmm? Aku bisa makan apapun selama itu makanan yang boleh di konsumsi." Prao membalas rengkuhan Sesil, kedua nya berjabatan tangan dan masuk ke dalam ruangan yang bernamakan dapur, nampak Prao cukup kebingungan karena ia tak melihat ada kompor listrik atau kompor gas, dengan cengengesan Prao menepuk bahu Sesil, "Kita mau masak kan? Dimana kompor listrik atau kompor gas nya?"

Sesil menunjukkan dimana jawaban yang Prao butuhkan itu berada dengan sebuah isyarat kemana kedua maniknya tertuju.

"Berbicaralah aku mana paham isyarat matamu."

Sesil menggelengkan kepala, "Kita memasak di atas tubgku api menggunakan kayu ini."

"Kamu bercanda Sesil? Bukannya pizza?"

Sesil menjentikan satu jemarinya tepat mengenai dahi Prao, "Makanya jangan lahir menjadi orang kaya, hal begini tidak tahukan?"

"Resiko udah kaya masih dalam kandungan." Prao menimpali dengan terkekeh, Ah bahagianya mampu tertawa lepas hanya karena hal-hal kecil itu membuat mood Prao merasa semakin jauh lebih baik, bergelimang harta pun tak mampu menjanjikan kebahagiaan yang alami.

"Ya, cuma ada mie rebus." Sesil nampak merasa payah, seharusnya ia memikirkan untuk berbelanja memenuhi kebutuhan dapur mereka, kini menyesalpun percuma mereka hanya mampu menikmati semangkuk mie kembali.

"Maaf, hanya ada mie rebus." Sesil merasa tak enak hati.

Prao menyenggol lengan Sesil dengan terkekeh pelan. "Kamu ini kita kan sudah biasa, kenapa harus sampai di tekuk segala itu muka?'

"Tapi kamu lagi hamil Prao, makan mie rebus tidak sehat." Ada kekhawatiran di sana yang jelas, namun Sesil tak ingin semakin membuat Prao harus merasa terbebani.

"Sudahlah lupakan saja, Kenapa kamu menyembunyikan tempat tinggalmu yang sejuk ini?" Prao merapikan posisi duduk dan kembali memperhatikan gerak-gerik gestur Sesil.

Sesil berkelit, apapun yang sudah terjadi dahulu tak boleh ada yang mengungkitnya kembali. "Kamu saja yang tidak bertanya kampung halamanku." Sesil menggoda sebari menjulurkan lidah.

"Kebiasaan kamu ya."

Sesil berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, "Kapan kamu mau le Jakarta dan memberitahu orangtuamu atas kehamilanmu ini?" Akhirnya Sesil bernapas lega setelah memberikan pertanyaan lain kepada Prao agar wanita itu tak terus menerus memberikannya rentetan pertanyaan yang belum siap untuk ia jelaskan.

Prao bergeming sejenak, "Mungkin besok, bukankah lebih cepat lebih baik?"

Sesil mengangguk menyetujui, masalah memang tak seharusnya selalu di hindari, Sesil membatin sejenak ucapan dalam batinnya seperti cerminan diri untuknya, haruskah ia berdamai juga dengan masalalu?"

"Lalu bagaimana dengan ayah biologis dari anakmu ini? Apa kamu akan terus menutupinya?"

Prao tak mampu menjawab cepat, keraguan akan sosok itu selalu hadir dalam keikhlasannya. Prao akui ia tak mungkin selalu menutupi kenyataan, namun waktu nyatanya belum berpihak padanya. "Sepertinya aku akan membesarkan nya seorang diri."

Sesil menoleh segera, tidak boleh. Hal itu bukan keputusan yang baik walau bagaimana pun pria itu harus bertanggung jawab, seenaknya memberikan beban hanya kepada salah satu pihak, meski kehadiran janin itu sebuah ketidak sengajaan tetap saja perihal nyawa makhluk hidup tak bisa di abaikan, ia harus kembali memikirkan cara untuk memberitahu Lion bahwa atas perbuatan bejatnya itu menghasilkan satu makhluk sucu yang tidak bersalah.

"Sebaiknya kamu istirahat, Prao." Sesil menyudahi perbincangan saat ini.

Dalam hatinya ada secercah harapan untuk merawat bayinya secara bersamaan, namun terlalu banyak ketakutan yang ia peroleh mengharuskan ia mengubur semuanya. Prao kembali termenung dalam bilik kamarnya, apa sudah benar jalan yang ia ambil? Apa tidak akan ada penyesalan di kemudian hari?

"Apa kamu akan memahami keputusan mama mu ini?" Sebari mengelus perutnya yang masih datar, Prao merasa meski tak adil namun harus tetap ia pilih.

Pria itu akan selamanya menjadi mimpi buruk baginya, menjadi kenangan yang tak ingin ia ungkit kelak ketika anaknya nanti tumbuh dewasa, tumbuh dengan tanpa seorang ayah. Dalam diam Prao meski bersikukuh untuk tetap memilih pendiriannya, keinginannya untuk hidup lebih tenang jauh lebih utama.

"Sepertinya memang harus seperti itu nak, lebih baik kamu tidak tahu siapa ayahmu yang sebenarnya."

Prao tersenyum kecil, meski si makhluk mungil itu belum bernyawa dan tubuhnya masih begitu kecil, ia yakin jika darah dagingnya itu akan sangat paham tentang apa yang ia sampaikan barusan.

Namun keinginan itu selalu bertolak dengan apa yang Lion lakukan, priq itu tak mau tinggal diam. Kehilangam Prao secara mendadak membuat Lion merasa begitu prustasi setelah ia tahu kebenarannya atas apa yang ia peroleh dari hasil pemeriksaan tes Prao di rumah sakit ibu dan anak, Ya wanita itu hamil darah dagingnya.

"Apa aku sangat tidak pantas untuk menjadi seorang ayah? Sampai kamu membawa jauh dia dariku?" Usapan kecil ia berikan untuk sebuah foto dari balik layar gawainya.

"Apa kamu akan membuang bayiku?"

"Apa kamu justru akan membunuhnya?"

Lion nampak ingin berisak, namun ia tahan sekuat yang ia bisa lakukan. Menangis bukan jalan terbaik, ia harus kembali mencari keberadaan Prao dengan selamat. Memcari tahu kebenarannya atas pilihan wanita itu pergi dari kehidupannya secara spontan, apa ini hukuman untuknya?

Tidak, ini hanya sebuah teguram halus. Ia jelas ingin merubah dan meminta maaf kepada Prao atas perbuatan yang tidak baik kepadanya, walau bagaimanapun keadaannya tidak sama seperti bulan-bulan sebelumnya, Lion merasa begitu senang setelah tahu jika Prao positif hamil dan ia akan menjadi seorang ayah, Tuhan selalu memberikan kejutan yang tidak pernah terduga meski ia pria paling berengsek sealam semesta, Tuhan pasti akan memberikannya penebusan dosa untuk berubah.

Lion yakin jika Prao pun demikian.

SALAH MASUKWhere stories live. Discover now